DI SUSUN OLEH:
SAMSUL BAHRI
20700113033
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan diantaranya adalah sadduz zariah, qaul shahabi dan syar’u man qablana . Oleh karena itu, kita perlu mengetahui ijtihat tersebut.
B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut adalah:
1.Apa definisi sadduz zariah?
2.Jelaskan jenis-jenis sadduz zariah
3.Bagaimana kehujjahan Sadduzzariah ?
4.Apa definisi dari qaul shahabi ?
5.Bisakah qaul shahabi dijadikan sumber hukum ?
6.Apa definisi syar’u man qablana?
7.Apa saja macam-macam Syar’u Man Qoblana ?
C.Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1.Mengetahui defenisi dari sadduzzari’ah
2.Mengetahui jenis-jenis sadduzzari’ah
3.Mengetahui kehujjahan sadduzzari’ah
4.Mengetahui defenisi Qaul Shahabi
5.Mengetahui defenisi syar’u man qablana
6.Mengetahui macam-macam syar’u man qablana
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan diantaranya adalah sadduz zariah, qaul shahabi dan syar’u man qablana . Oleh karena itu, kita perlu mengetahui ijtihat tersebut.
B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut adalah:
1.Apa definisi sadduz zariah?
2.Jelaskan jenis-jenis sadduz zariah
3.Bagaimana kehujjahan Sadduzzariah ?
4.Apa definisi dari qaul shahabi ?
5.Bisakah qaul shahabi dijadikan sumber hukum ?
6.Apa definisi syar’u man qablana?
7.Apa saja macam-macam Syar’u Man Qoblana ?
C.Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1.Mengetahui defenisi dari sadduzzari’ah
2.Mengetahui jenis-jenis sadduzzari’ah
3.Mengetahui kehujjahan sadduzzari’ah
4.Mengetahui defenisi Qaul Shahabi
5.Mengetahui defenisi syar’u man qablana
6.Mengetahui macam-macam syar’u man qablana
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.Sadduzzari’ah
1.Pengertian
Secara Etimologis kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lubang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i. Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
Secara Terminologi, Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
2.Kedudukan Sadd Adz-dzari’ah
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd adz-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang. Konsep sadd adz-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.
Contoh kasus penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd adz-dzari’ah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd adz-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
Dengan sadd adz-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd adz-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd adz-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd adz-dzari’ah cenderung menjadi bias gender. Sadd adz-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.
Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd adz-dzari’ah-nya, namun orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd adz-dzariah tentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzari’ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
3.Macam-Macam Sadd adz-dzari’ah
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:
a).Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
b).Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
c).Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
d).Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
e).Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
f).Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
g).Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba
4.Dasar Hukum Sad Adz-dzari’ah
1).Al-Quran
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’âm, 6: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd al-dzari’ah).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Râ’inâ”, tetapi katakanlah: “Unzhurnâ”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah, 2: 104).
Pernyataan Allah pada QS al-Baqarah, 2: 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Katarâ ‘inâ (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah s.a.w. Mereka menggunakannya dengan maksud kata râ ‘inâ (رَعِنًا) sebagai bentuk isim fâ’il darimasdar kata ru’ûnah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh.
Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata râ’inâ yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurnâ yang juga berarti sama dengan râ’inâ. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzarỉ‘ah.
1.Pengertian
Secara Etimologis kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lubang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i. Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
Secara Terminologi, Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
2.Kedudukan Sadd Adz-dzari’ah
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd adz-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang. Konsep sadd adz-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.
Contoh kasus penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd adz-dzari’ah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd adz-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
Dengan sadd adz-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd adz-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd adz-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd adz-dzari’ah cenderung menjadi bias gender. Sadd adz-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.
Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd adz-dzari’ah-nya, namun orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd adz-dzariah tentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzari’ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
3.Macam-Macam Sadd adz-dzari’ah
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:
a).Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
b).Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
c).Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
d).Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
e).Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
f).Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
g).Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba
4.Dasar Hukum Sad Adz-dzari’ah
1).Al-Quran
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’âm, 6: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd al-dzari’ah).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Râ’inâ”, tetapi katakanlah: “Unzhurnâ”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah, 2: 104).
Pernyataan Allah pada QS al-Baqarah, 2: 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Katarâ ‘inâ (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah s.a.w. Mereka menggunakannya dengan maksud kata râ ‘inâ (رَعِنًا) sebagai bentuk isim fâ’il darimasdar kata ru’ûnah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh.
Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata râ’inâ yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurnâ yang juga berarti sama dengan râ’inâ. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzarỉ‘ah.
2).As-Sunnah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd al-dzarỉ‘ah.Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzari’ah.
3).Kaedah Fikih
Di antara kaedah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzarỉ‘ah adalah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (mashlahah).
Kaedah ini merupakan kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini. Karena itulah, sadd al-dzarỉ‘ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd al-dzarỉ‘ah terdapat unsurmafsadah yang harus dihindari.
4).Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûwâqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”
B.Qaul Sahabi
1.Pengertian
Semasa Rasulullah masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para Shahabat kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, maka kelompok Shahabat berusaha dengan sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa Shahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa Shahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’it tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits.
Pendapat yang lain mengemukakan bahwa seiring dengan situsi dan kondisi pada masa Shahabat, setelah wafat Rasulullah SAW, banyak Shahabat yang tampil memberikan pendapat (fatwa) dalam menjawab berbagai masalah hukum yang muncul. Sebagian ahli ushul fiqh menyebut pendapat Shahabat dengan Qaul Shahabi (perkataan/pendapat Shahabat). Sebagian lain menamakannya dengan fatwa shahabi. Sementara itu, banyak pula ahli fiqh menyebutnya dengan Madzhab Shahabi.
Pengertian Madzhab Shahabi sendiri secara etimologi yaitu kata madzhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba yang artinya pergi. Oleh karena itu,mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara.
Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Dengan demikian ,madzhab shahabat adalah jalan yang ditempuh para shahabat.
Pengertian madzhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan Madzhab Shahabi berarti “pendapat para shahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud pendapat Shahabat adalah pendapat para Shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para Ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi Shahabat tersebut.
Jadi, Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut adalah “perkataan”. Sedangkan kata “sahahabi” artinya adalah shahabat atau teman. Jadi yang di maksud dengan “Qaul shahabi” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
2.Pengertian Shahabat
Menurut Jumhur Fuqaha, Shahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri. Oleh karena itu Jumhur Fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash.
Dalam pandangan Muhammad Al-Khatib, Shahabat adalah setiap orang Islam yang hidup bergaul dengan Nabi SAW dalam waktu yang cukup lama dan menimba ilmu darinya, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Abdullah yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, kepada generasi sesudahnya.
Menurut ulama hadist, shahabat ialah orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan wafat dalam keadaan Islam. Ahli hadist mensyaratkan pernah bertemu dengan Nabi. Dan syarat yang mutlak harus ada pada shahabat itu ialah ia wafat dalam keadaan Islam. Sekalipun prang tersebut bisa menyertai Nabi, namun jika mati tidak dalam keadaan Islam, maka tidak disebut shahabat. Seperti paman Nabi, Abu Thalib. Tetapi ada yang memperlonggar syarat itu dengan cukup pernah hidup semasa dengan Nabi, meskipun tidak pernah bertemu Nabi secara berhadap-hadapan.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa shahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri. Para ahli ushul fiqh menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash
Menurut pandangan ahli ushul, yang disebut shahabat adalah seseorang dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW. Sehingga secara adat dinamakan sebagai shahabat. Ada pula ulama yang mempersingkat identitas shahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW, serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.
Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menambah persyaratan untuk disebut shahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu pada dirinya terdapat bakat atau bawaan (malakah) dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabi dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).
3.Kehujjahan Qaul Shahabi
a.Fatwa shahabat yang bukan berasal dari hasil ijtihadnya, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa syara’ maupun berupa ketetapan hukum.
b.Fatwa shahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka yang dikenal dengan ijma’ shahabat. Fatwa seperti ini merupakan hujjah dan mengikuti bagi generasi sesudahnya.
c.Fatwa shahabat secara individu tidak mengikat shahabat lain. Oleh sebab itu, tidak jarang para mujtahid dikalangan shahabat berbeda pendapat dalam suatu mujadalah.
d.Fatwa shahabat secara individu yang berasal dari hasil ijtihadnya dan tidak terdapat kesepakatan shahabat tentangnaya.
Kalangan hanafiyah, Imam malik, Qaul qadim syafi’I dan pendapat terkuat dari imam ahmad bin hanbal menyatakan bahwa pendapat yang dilakukan melalui ijtihad dapat dijadikan hujjah. Dan apabila terjadi perbedaan dengan qiyas, maka pendapat shahabat yang didahulukan.
Menurut kalangan mu’tazilah, syi’ah, salah satu pendapat imam ahmad bin hanbal berpendapat bahwa fatwa shahabat tidak mengikat generasi sesudah mereka. Ada alasan yang dikemukakan oleh ulama ini diantaranya firman allah SWT, dalam surah Al-hasyar ayat 592 yang artinya “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. Mereka yang berpegang pada pendapat ini beralasan bahwa shahabat bukanlah termasuk orang yang dijamin ma’sum (terbebas dari dosa dan kesalahan), sama halnya dengan para mujtahid lainnya.
Imam syafi’i menyatakan bahwa hukum atau fatwa hanya boleh disandarkan kepada dalil yang pasti yaitu al-quran dan sunnah.
Beberapa contoh fatwa shahabat
1).Fatwa aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2 (dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perut ibinya lebih dari dua tahun.
2).Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga) hari.
3).Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa ‘idah harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk selamanya.
4.Pendapat Ulama Berkenaan Dengan Kehujjahan Qaul Shahabi
Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat shahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu :
a.Pendapat para shahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyah RA, yang artinya :
“Kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari sepanjaang bayang-bayang benda yang ditancapkan.” (HR. Daraquthni).
b.Pendapat shahabat yang tidak ada shahabat lain yang menyalahkannya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada shahabat yang tidak sependapat dengannya.
Sedang pendapat shahabat yang tidak disetujui oleh shahabat yang lain tidak disetujui oleh shahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Ahmad bin Hanbal dan sebagian Syafi’iyah, dan didahulukan dari qias. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukannya dari hadits mursal dan hadits dha’if.
As-Syaukani menganggap pndapat shahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak harus kita mengikutinya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan pendapat shahabat bagi orang lain yang selain shahabat, seperti: tabi’in (generasi sesudah shahabat), tabi’itabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan generasi berikutnya :
a.Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari dari ulama Asy’ariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’I dalam satu qaulnya, Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari ulama Malikiyah. Mereka mengatakan bahwa pendapat shahabat yang berasal dari ijtihadnya tidaklah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Amidi. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut :
Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 59 yang artinya :”Jika kamu berselisih pendapat, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.”
Dalam ayat ini ada perintah Allah untuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul bila terdapat perselisihan pendapat. Seandainya boleh mengambil pendapat shahabat, tentu Allah akan menyuruh umat berbuat demikian.
b.Ijma’ shahabat tentang kebolehan beda pendapat anatara sesame shahabat. Seandainya pendapat seorang shahabat itu menjadi hujjah, tentunya seorang shahabat wajib mengikuti yang lain, dan ini adalah mustahil.
c.Shahabat mengemukakan pendapatnya berdasarkan hasil ijtihadnya, sehingga ada kemungkinan pendapatnya itu salah. Karenanya, pendapat shahabat itu tidak berdaya hujjah terhadap orang lain.
d.Para shahabat terkadang berbeda pendapat dalam beberapa masalah :
Sebagian shahabat mengikuti pendapat yang berbeda dengan pendapat shahabat yang lain. Kalau setiap pendapat shahabat itu menjadi hujjah terhadap shahabat yang lain dan orang-orang sesudahnya, tentu hujjah-hujjah Allah itu berbeda atau berbenturan satu sama lain. Mengikuti pendapat sebagian shahabat tidaklah lebih dibandingkan dengan pendapat shahabat yang lain.
Al-Ustadz Abdul Wahab Khalaf di dalam Ilmu Ushul Fiqh hujjah di dalam hal yang bersifat sam’I dan bukan ‘aqli, karena para sahabat akan mendasarkan pendapatnya kepada apa yang didengar dari Rasulullah, dan kedua, tidak ada perbedaan pendapat pula bahwa segala yang disepakati para shahabat adalah hujjah karena kesepakatan mereka atas sesuatu kasus adalah bukti bahwa menyandarkan pendapatnya kepada dalil yang tegas/pasti, seperti hak 1/6 bagian kepada nenek/jadat.
Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn Anas, al-Razi, al-Barza’I dari shahabat Abu Hanifah, al-Syafi’I dalam satu qaulnya (qaul qadim), dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Mereka berpendapat bahwa pendapat shahabat itu menjadi hujjah secara mutlak. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut:
a.Firman Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 110, yang artinya:”Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia, menyuruh berbuat ma’ruf.”
b.Sabda Nabi:”Para shahabatku adalah bintang gemintan ; siapapun yang kamu ikuti kamu akan mendapat petunjuk.”
Hadist ini mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang diberikan oleh shahabat Nabi. Hal ini menunjukkan kehujjahan pendapat yang disampaikan oleh shahabat.
Pendapat kalangan ulama yang tidak bersikap secara mutlak (pasti) dalam menerima atau menolak pendapat shahabat; artinya: menerima dalam bentuk tertentu dan menolak yang lainnya. Rincian pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.Pendapat shahabat dapat berdaya hujjah bila pendapat itu bertentangan dengan qiyas. Alasannya adalah seperti yang dikemukakan al-Mahalli, bahwa para shahabat itu biasa beramal dengan qiyas, kecuali bila menemukan dalil lain yang lebih kuat yang mendorongnya untuk tidak menggunakan qiyas, baik dalam bentuk nash maupun dalam bentuk ijma’. Bila seorang shahabat menyalahi qiyas, maka kemungkinan besar (kuat dugaan) bahwa ia mempunyai dalil yang lebih kuat. Bila pendapatnya sama dengan qiyas, maka kemungkinan pendapatnya berlandaskan qiyas. Dalam keadaan ini, maka qiyas itulah yang menjadi hujjah, dan bukan pendapat pribadi shahabat tersebut.
b.Pendapat shahabat yang didukung oleh qiyas qarib dapat menjadikan hujjah, karena pendapat tersebut telah mendapat kekuatan oleh kesamaannya dengan qiyas.
c.Pendapat shahabat dapat menjadi hujjah bila pendapatnya itu telah tersebar dan tidak ditemukan ada pendapat lain yang menyanggahnya. Pendapat ini muncul di kalangan ulama yang tidak menerima ijma’ sukuti sebagai dalil yang berdiri sendiri. Jika ada pendapat pribadi seorang shahabat, meskipun pendapat itu telah tersebar luas dan tidak ada yang membantahnya, tetapi tetap masih bernama pendapat pribadi shahabat, bukan ijma’ sukuti dari shahabat. Pendapat shahabat menjadi hujjah bukan karena ia telah menjadi ijma’ shahabi, tetapi karena pendapat pribadi shahabat itu secara jelas tidak ada yang menyanggahnya.
Dalam beberapa literature ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat shahabat itu adalah secara terbatas bagi shahabat-shahabat tertentu saja. Beberapa pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.Pendapat shahabat yang berdaya hujjah hanyalah bila lahir dari Abu Bakar dan Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang artinya; “Ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan Umar.” Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Tarmidzi.
b.Pendapat empat orang dari khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari shahabat lainnya. Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh al-Tarmidzi: “Adalah kewajibannya untuk mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang dating sesudahku”.
c.Pendapat salah seorang Khulafa al-Rayidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi’i. Tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukannya ke Kufah dan waktu itu para shahabat yang biasa menjadi narasumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum Ali sudah tidak ada lagi.
d.Pendapat dari shahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Nabi menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid ibn Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris), Muaz ibn Jabal dalam bidang hukum di luar faraid, dan Ali ibn Abi Thalib dalam masalah peradilan.
Di kalangan ulama yang menerima kehujjahan pendapat shahabat secara mutlak, muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas:
a.Ulama yang berpendapat bahwa pendapat shahabat itu menjadi hujjah dan berada di atas qiyas sehingga kalau terjadi perbenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah pendapat shahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini bila ada dua pendapat shahabat yang berbeda dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana penyelesaian dua dalil yang bertentangan, yaitu melalui tarjih (mencari dalil terkuat).
b.Ulama yang berpendapat bahwa pendapat shahabat itu menjadi hujjah, namun kedudukannya di bawah qiyas dan bila terjadi perbenturan di antara keduanya, maka harus didahulukan qiyas atas pendapat shahabat.
Berdasarkan pendapat kedua di atas, apakah pendapat shahabat itu dapat digunakan untuk mentakhsis umumnya dalil lafaz suatu hukum. Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat:
a.Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umumnya dalil sebagaimana berlaku terhadap dalil-dali lain yang berdaya hujjah.
b.Ulama lainnya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum.
Di kalangan ulama yang menolak kehujjahan qaul shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang (generasi) sesudah shahabat boleh bertaqlid kepada shahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat:
a.Muhaqqiq, sebagaimana dikatakan Imam al-Haramain dalam kitabnya al-Burhan, mengatakan tidak boleh. Alasannya adalah bahwa tidak kuatnya kepercayaan pendapat shahabat tersebut, sebab pendapatnya tidak pernah dibukukan. Lain halnya dengan pendapat Imam Mujtahid yang empat, umpamanya, yang pendapatnya telah dibukukan oleh para muridnya. Hal ini bukan karena kualitas ijtihad imam yang empat lebih tinggi dari ijtihadnya shahabat. Pendapat seperti ini sejalan dengan pendapat al-Syafi’I dalam qaul jadidnya (pandangan baru).
b.Membolehkan secara mutlak dengan alas an rasional bahwa bila orang boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid sesudah masa shahabat, tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujtahid shahabat.
c.Qaul qadim (pendapat lama) dari al-Syafi’I mengatakan boleh bertaqlid kepada shahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas meskipun tidak dibukukan.
Dalam menetapkan fatwa-fatwa shahabat sebagai hujjah, Jumhur fuqaha mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut:
a.Firman Allah SWT dalam surat at-Taubah ayat 100 yang artinya: “orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah.”
Dalam ayat ini Allah SWT memuji orang-orang yang mengikuti para shahabat. Sebagai konsekuensi logis dari pujian Allah SWT tersebut, berarti kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan karena itu fatwa-fatwa mereka dapat dijadikan hujjah.
b.Sabda Rasulullhah SAW yang artinya :”Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercaya) sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kepercayaan ummat kepada para shahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa shahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan para shahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan argumentasi yang bersifat akal (rasional) ialah:
c.Para shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SWA disbanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya al-Quran, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash al-Quran diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.
d.Pendapat-pendapat yang dikemukakan para shahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alasan mereka sering menyebutkan hokum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Tanpa menyebabkan bahwa hal itu dating dari Nabi, karena tidak ditanya sumbernya. Demgan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada qiyas atau penalaran. Maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari nash (hadist) serta sesuai dengan daya nalar (rasional).
e.Jika pendapat para shahabat didasarkan pada qiyas, sedang para ulama yang hidup sesudah mereka juga menetapkan hokum berdasarkan qiyas yang berbeda dengan pendapat shahabat, maka untuk lebih berhati- hati, yang kita ikuti adalah pendapat para shahabat. Karena Rasulullah SAW bersabda; “Sebaik-baik generasi, adalah generasiku dimana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa pendapat para shahabat lebih mendekati pada al-Quran dan Sunnah dibanding pendapat para ulama yang hidup sesudah mereka, dengan mengatakan : Bila seorang sahabat mengemukakan suatu pendapat, atau menetpkan suatu hokum, atau memberikan suatu fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan yang juga kita miliki. Adapun pengetahuan yang khusus diketahui shahabat, mungkin didengar langsung dari Rasulullah SAW, atau didengar dari Rasulullah melalui shahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya dimiliki oeh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para shahabat tidak dapat meriwayatkan semua hadist yang didengar oleh Abu Bakar, Umar, dan tokoh-tokoh sahabat yang lain.
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i dalam kitabnya ar- Risalah dan al-Umm (kitab yang baru), menunjukkan bahwa dalam menetapkan hokum, pertama tama Imam Syafi’I mengambil dasar dari al-Quran dan sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para shahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan al-Quran dan hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh khulafa’ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA. Dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hokum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa shahabat. Imam Ahmad ibn Hanbal juga demikian.
Imam asy-Syaukani berkata: “Sebenarnya, pendapat shahabat tidak dapat dijadikan hujjah. Karena Allah SWT hanya mengutus seorang Nabi kepada umat ini, yaitu Nabi Muhammad SAW, Rasul kita hanya satu, kitab kita juga hanya satu. Semua ummat Muhammad, baik dari generasi shahabat maupun generasi sesudahnya, semua diperintahkan untuk mengikuti kitab suci al-Quran dan Hadist. Oleh karena itu, barangsiapa berpendapat bahwa dalam agama Allah terdapat hujjah selain al-Quran, Sunnah dan sesuatu yang dikembalikan (diqiyaskan) kepada kedua hal tersebut, berarti ia mengada-adakan sesuatu dalam syari’at Islam yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT adalah dosa besar dan kebohongan yang nyata”.
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat asy-Syaukani di atas adalah dalam rangka menolak pendapat para shahabat. Suatu hal yang harus diketahui, bahwa sewaktu para imam madzhab mengikuti pendapat para shahabat, bukan berarti mereka menciptakan risalah baru selain risalah Nabi Muhammad, dan menganggap hujjah pada selain al-Quran dan Sunnah. Karena meskipun mereka mengambil pendapat para shahabat, mereka tetap berpegang teguh pada satu Nabi, satu Sunnah dan satu kitab suci al-Quran. Hanya saja mereka memandang bahwa para shahabat adalah orang-orang yang menguasai al-Quran dan meriwayatkan hadist-hadist Rasul kepada generasi sesudah mereka. Dengan demikian, mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang syari’at Allah dan paling dekat kepada petunjuk-Nya. Oleh karena itu, pendapat-pendapat mereka diperolah dari Rasulullah SAW, bukan bid’ah yang dibuat-buat serta pendapat yang disengaja diciptakan. Sebaliknya, pendapat-pendapat tersebut adalah bersumber dari nash-nash syara’, karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang sumber-sumber hokum dan arah serta tujuannya. Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti mereka, ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah dalam surat at-Taubah:100, yang artinya: Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
C.Syar’u man Qablana
1.Pengertian Syar’u man Qablana
Ada beberapa pengertian tentang syar’u man qablana, diantaranya ;
a.Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.
b.Syar ‘u man qablana ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
c.“Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara‟ yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.
d.Syar’u man qablana atau syari’at sebelum kita maksudnya adalah “hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan
Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu”
Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan lain-lain.
2.Kedudukan Syar’u Man Qablana
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura : 13.
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.
3.Pembagian Syar’u Man Qablana
a.Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at kita (dimansukh)
Jika Alqur’an dan Hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat terdahulu kemudian datang dalil nash yang membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum itu bukanlah syari’at kita karena sudah ada yang membatalkannya. Misalnya, syari’at keharusan bunuh diri bagi orang yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman Nabi Musa.
Dan syarat keharusan memotong kain yang terkena najis sebagai syarat menyucikan pakaian/kain itu sendiri di zaman Nabi Musa. Kedua kasus ini hukumnya telah dibatalkan dengan firman Allah surat Hud : 3.
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya”
Dan dalam surat Al-Mudatstsir :4 yang artinya“.......dan pakaianmu bersihkanlah”
b.Ajaran yang disyari’atkan oleh kita
Bila Al-Qur’an atau hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat sebelum Islam, lalu Al-Qur’an dan hadis itu menetapkan bahwa hukum itu wajib pula kepada umat Islam untuk mengerjakannya, tidak diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at yang harus ditaati umat Islam. Misalnya kewajiban berpuasa, kewajiban ini telah diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Kemudian setelah datang agama Islam, syari’at semacam itu diwajibkan lagi bagi orang Islam, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah : 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
c.Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
a).Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b).Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.
Untuk hal ini ada dua pendapat, yaitu:
Pendapat pertama, menyatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah saw. dan umatnya.
Pendapat kedua bila hukum yang diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana diwajibkan juga bagi mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan.
Dengan perbedaan pendapat di atas, maka ada hal yang disepakati ulama :
a).Hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam.
b).Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak bisa berlaku lagi bagi kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging bagi Bani Israil.
c)Segala yang ditetapkan dengan nash yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukum qishash dan puasa yang ada dalam Alquran.
4.Sandaran Syari’at Rasulullah Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)
a.Keterikatan Rasulullah Sebelum Diutus Menjadi Rasul
Keterikatan Rasulullah sebelum diutus menjadi Rasul terhadap syari’at Islam, terjadi perbedaan pendapat. Para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika Nabi SAW, terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya.
Sedangkan setelah ditelusuri tidak ada dalil yang menegaskan bahwa beliau terikat dengan syari’at sebelum Islam. Sedangkan ulama Hanafiyah, Hanabillah, Ibn al-Hajib mengatakan bahwa Rasulullah sebelum diangkat menjadi Rasul terikat dengan syari’at sebelum Islam, karena ada beberapa alasan yang menyatakannya ;
1).Setiap Rasul Allah diseru untuk mengikuti syari’at rasul-rasul sebelumnya.
2).Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi SAW. Sebelum menjadi Rasul telah melakukan perbuatan/amalan tertentu yang sumbernya bukan dari akal semata, seperti pelaksanaan shalat, haji, umrah,mengagungkan ka’bah dan thawaf disekelilingnya serta menyembelih binatang. Hal tersebut berdasarkan firman Allah surat al-An’am:90. “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikitilah petunjuk itu”
b.Keterikatan Rasulullah Setelah Diangkat Menjadi Rasul
keterikatan Rasulullah dan umatnya terhadap syari’at sebelum Islam ketika telah diangkat menjadi Rasul. Para ulama berpendapat bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak membatalkannya. Sedangkan syari’at sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya. Kecuali yang ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Namun untuk hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur’an, tetapi tidak ditegaskan berlakunya untuk umat Muhammad SAW., tetapi diketahui secara pasti bahwa hukum itu berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak ada pembatalan dalam al-Qur’an dan Sunnah, terjadi perbedaan pendapat diantaranya:
1.Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa jika hukum syari’at sebelum Islam itu disampaikan pada Nabi SAW. Melalui wahyu al-Qur’an bukan melalui kitab agama mereka yang telah diubah, maka umat Islam terikat dengan hukum tersebut. Alasannya syari’at sebelum Islam juga merupakan syari’at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syari’at, seperti yang tercantum dalam surat an-Nahl ayat 123
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ikutilah agama Ibrahim yang hanif.”
Kemudian hadis Rasulullah yang artinya: “siapa yang tertidur dan lupa untuk sholat, maka kerjakanlah sholat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian Rasulullah membacakan ayat;
“kerjakanlah sholat itu untuk mengingat-Ku” (HR. Bukhari, Muslim Tirmidzi, Nasa’I dan Abu Daud).
2.Ulama Asy’arriyah, Mu’tazilah dan Syi’ah dan sebagian ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa syari’at sebelum Islam tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya, alasannya;
c.Pertama ketika Rasul SAW. Mengutus Mu’az bin Jabal untuk menjadi qadi di Yaman, Rasul bertanya; “bagaimana engkau menetapkan hukum, Mu’az menjawab: ”dengan Kitabullah, jika tidak ada dalam kitabullah, dengan sunnah Rasulullah SAW. Dan apabila tidak ada juga, maka saya akan berijtihad. Nabi SAW. Memuji sikap Mu’az tersebut.
b.Kedua, firman Allah dalam surat al- Maidah ayat 48 yang artinya: “untuk tiap-tiap umat diantara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang”
a.Ketiga, syari’at Islam merupakan Syari’at yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan syari’at sebelum Islam hanya berlaku bagi umat tertentu, seperti sabda Rasul SAW. Yang artinya: “para Nabi diutus khusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh umat manusia” (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).
Dalam hal ini Abdul Hamid Hakim mengutip perkataan Imam Al-Syaukani, yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa pendapat :
a.Bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Adam as. karena syariat itu merupakan syariat yang pertama.
b.Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariat Nabi Nuh as.
c.Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariatnya nabi Ibrahim as.
d.Ada pula yang menyatakan Rasulullah beribadah dengan syariat Nabi Musa as.
e.Dan yang menyatakan Rasulullah bersyariat kepada syariat Isa as. karena Nabi yang paling dekat dengan Rasulullah saw.
Bahkan ada yang berpendapat, bahwa Rasulullah saw. sebelum diutus tidak beribadah atas syariat, menurutnya, karena kalaulah berada pada satu agama tentu Nabi menjelaskannya dan tidak menyembunyikannya. Ibnu Qusyairi berkata, bahwa semua perkataan itu berlawanan dan tidak ada dalil yang qath’i.
Imam Al-Syaukani mengembalikan kepada perkataan yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Ibrahim as. Menurutnya, karena Rasulullah sering mencari dari syariat Ibrahim as., beramal dengan apa yang sampai kepadanya dari syariat Ibrahim, dan juga seperti yang diketahui dari ayat Alqur‟an setelah beliau diutus untuk mengikuti Millah Ibrahim as.
BAB II
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut;
1.Saddudz dzari’ah adalah upaya menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
2.Qaul shahabi adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
3.Qaul Shahabi adalah pendapat para shabat tentang kasus hukum yang belum ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
4.Macam-Macam Qaul Shahabi
a.Perkataan Shahabat yang didengarnya dari Rasulullah SAW.
b.Perkataan Shahabat yang didengarnya dari Shahabat lain
c.Perkataan Shabat dari hasil ijtihadnya sendiri
d.Perkataan seorang Shahabat yang telah disepakati lingkungannya
e.Perkataan Shahabat dari hasil pemahamannya akan dalil-dalil lapazd
5.Kedudukan Qaul Shahabi
a.Pendapat Shahabat yang berasal dari nabi, menjadi hujjah
b.Pendapat Shahabat yang disepakati oleh lingkungannnaya, menjadi hujjah
c.Pendapat Shahabat dari hasil ijtihadnya, masih terdapat perbedaan pendapat tentang kedududkannya
6.Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.
7.Dan dapat dipahami juga bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dan lain-lain.
8.Pada prinsipnya, syari’at yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
B.Saran
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada zaman moderenisasi ini telah banyak terdapat problema-problema tentang hukum-hukum agama, terutama kasus-kasus yang belum pernah terjadi dimasa Rasulullah SAW, dan masa Shahabat. Banyak orang yang memakai sumber-sumber hukum yang belum jelas kedudukannya terhadap generasi sekarang ini.
Selanjutnya saya sebagai pemakalah mengajak kepada kaum muslimin dan muslimat agar memandang jauh kedepan tentang kedudukan pendapat para shahabat (Qaulus shahabi), serta kehujjahannya terhadap generasi sesudah mereka.
Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut;
1.Saddudz dzari’ah adalah upaya menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
2.Qaul shahabi adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
3.Qaul Shahabi adalah pendapat para shabat tentang kasus hukum yang belum ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
4.Macam-Macam Qaul Shahabi
a.Perkataan Shahabat yang didengarnya dari Rasulullah SAW.
b.Perkataan Shahabat yang didengarnya dari Shahabat lain
c.Perkataan Shabat dari hasil ijtihadnya sendiri
d.Perkataan seorang Shahabat yang telah disepakati lingkungannya
e.Perkataan Shahabat dari hasil pemahamannya akan dalil-dalil lapazd
5.Kedudukan Qaul Shahabi
a.Pendapat Shahabat yang berasal dari nabi, menjadi hujjah
b.Pendapat Shahabat yang disepakati oleh lingkungannnaya, menjadi hujjah
c.Pendapat Shahabat dari hasil ijtihadnya, masih terdapat perbedaan pendapat tentang kedududkannya
6.Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.
7.Dan dapat dipahami juga bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dan lain-lain.
8.Pada prinsipnya, syari’at yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
B.Saran
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada zaman moderenisasi ini telah banyak terdapat problema-problema tentang hukum-hukum agama, terutama kasus-kasus yang belum pernah terjadi dimasa Rasulullah SAW, dan masa Shahabat. Banyak orang yang memakai sumber-sumber hukum yang belum jelas kedudukannya terhadap generasi sekarang ini.
Selanjutnya saya sebagai pemakalah mengajak kepada kaum muslimin dan muslimat agar memandang jauh kedepan tentang kedudukan pendapat para shahabat (Qaulus shahabi), serta kehujjahannya terhadap generasi sesudah mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Djalil, Basiq. 2009. Ilmu Ushul Fiqhi. Jakarta: Kencana.
Minhajuddin, dkk. 2009.Ushul Fiqhi. Makassar: Alauddin Press.
Haroen, Nasrun. 1995.Ushul Fiqhi. Jakarta: Logos.
Http:// www.google.com
Minhajuddin, dkk. 2009.Ushul Fiqhi. Makassar: Alauddin Press.
Haroen, Nasrun. 1995.Ushul Fiqhi. Jakarta: Logos.
Http:// www.google.com
No comments:
Post a Comment