My Menus

Apr 24, 2015

Makalah Ilmu Fikih `Am dan Khas

MAKALAH ILMU FIQIH

"`AM DAN KHAS"


DI SUSUN OLEH:
SAMSUL BAHRI
20700113033


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR

2014


BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai Hudan Linnasi dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (Q.S Ibrahim:1).

Al-Qur’an merupakan sebagai pusat ajaran Islam. Kitab suci yang menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmi-ilmu ke Islaman, tetapi juga sebagai inspirator, pemandu dan pemadu dalam gerakan-gerakan umat Islam sepanjang abad empat belas abad silam. Jika demikian, pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsiran dan pendalaman ilmu kebahasaan, mempunyai peranan penting bagi maju-mundurnya umat Islam terlebih dalam konteks masa kini guna memberikan solusi terhadap problematika umat yang semakin menggelobal.

Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba memberikan sedikit wawasan tentang bagaimana memahami kaidah-kaidah ushuliyah “ ‘amr dan khas, Muradhif dan Musytarak, amr dan nahyun, mutlag dan muqayyad” dan ketentuan-ketentuan hukumnya.

B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut adalah:
1.Apa definisi ‘Am dan khas?
2.Apa defenisi dari muradif dan musytaraq?
3.Apa defenisi dari Amr dan nahyun?
4.Apa defenisi dari mutlaq dan muayyad?

C.Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1.Mengetahui defenisi dari ‘Am dan khas
2.Mengetahui defenisi dari muradif dan musytaraq
3.Mengetahui defenisi dari Amr dan nahyun
4.Mengetahui defenisi dari mutlaq dan muayya



BAB II
PEMBAHASAN
A.'Am dan Khas
1. Pengertian 'Am

Lafazh yang umum ('am) ialah yang menunjukan pada jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku.
Al-Am menurut iatilah ushul fiqhi adalah :
الَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ ماَيَصْلُوْحُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً
“Lafaz yang mencakup akan semua apa saja masuk padanya dengan satu ketetapan & sekaligus”
Contoh lafaz Am seperti lafaz "laki-laki"  ( الرِّجاَلُ )  dalam lafaz tersebut mencakup semua laki-laki. Atau lafaz "manusia" itu mencakaup semua manusia. Sementara golongan Hanafiah memberi defenisi lain sebagai berikut:
“Lafaz Am ialah suatu lafaz yang mencakup arti secara keseluruhan”.

a.Pengertian yang ditunjukan oleh Lafazh 'Am
Para ulama berbeda pendapat, apakah pengertian yang ditunjukan oleh lafazh 'am itu bersifat gathi atau zhanny. Golongan Hanafiah berpendapat bahwa penunjukan lafazh 'am itu terhadap satuan yang termasuk dalam pengertiannya itu tergolong gathi, Mereka menyebut contoh , firman Allah:
Artinya :

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan iateri-iateri (hendaklah para iateri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. Al-Baqarah:234)

Ayat tersebut meliputi seluruh perempuan yang ditinggal mati suaminya hendaklah beribadah dalam waktu yang telah ditentukan kecuali bila ada yang mengkhususkan,baik perempuan itu belum dicampuri suaminya atau sudah dicampuri.

Demikian pula firman Allah yang berbunyi :
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (Ath¬-Tahalaq : 4)

Dari ayat tersebut dipahami bahwa yang dimaksud Iddah diaana ialah meliputi seluruh iddahnya perempuan-perempuan yang tidak lagi haid baik berpiaahnya itu diaebabkan talak/ karena Faskh setelah dicampuri.

b.Pembagian 'Am
a.Umum Syumuliy
Yaitu semua lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi, seperti :

Artinya : Hai sekalian manusia, sertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri,  (Qs. A n-Ni.ssa’: 1)

Dalam Ayat ini seluruh manusia dituntut untuk sertakwa tanpa kecuali, maka lafaz yang seperti ini dinamakan umun Syumuliy.

b.Umum Badaliy
Bagi suatu lafaz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku seperti Afrad (pribadi) seperti :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sertakwa, (Q.S. Al-Baqarah 183)

Lafaz umum dapat dibagi menjadi tiga macam :
1).Lafaz umum yang tidak mungkin di Takhsiskan seperti dalam firman Allah

Artinya :
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”, (Qs. Huud-6)
Ayat diatas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap mahkluk karena itu dialahnya qath'I yang tidak rneneriniaTakhsis
2).Lafaz umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah :
Artinya :
“…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (Q.S Ali-Imran: 97)
Lafaz manusia dalam ayat adalah lafaz umum yang dimaksudkan adalah manusia yang mukallaf saja karena dengan perantara akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal anak kecil dan orang gila.
3).Lafaz umum yang khusus seperti lafaz umum yang tidak ditemui tanda yangmenunjukan di Takhsis seperti dalam firman Allah :
Artinya :
وَاْلمُطَلَّقَتُ يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوُءٍ
“Wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan (menunggu) tiga kali quru”
Kata-kata yang menunjukan makna umum seperti :
4).Kata kull (tiap) dan jami( حميع /semua).
Misalnya, Qs. Ali-Imran ayat 185
Artinya :
 “Tiap diri (jiwa) akan merasakan mati” (Q. S Ali-Imran 185 )
Artinya :
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di Bumi.” (Qs. Al-Bagarah : 29)
5).Kata Kaffah
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya” (Q.S. Saba': 28 )
c.Keumuman al-Quran dan kekhususan Hadits
Iman Svafi'I dan Imam Ahmad berpendapat. bahwa apabila Khabar dan ahad yang khusus, bertentangan dengan keumuman Al-Qur’an (yang di Takhsis dengan Khabar ahad) itu, maka keumuman Al-Qur’an itu tidak menunjukan pada semua satuan ynag mencakup dalam lafadz al-¬Qur’an yang 'Am itu, tetapi hanya menunjukkan pada sebagian saja.

Hal ini diaebabkan, adalah keumuman al-Qur’an itu bersifat Zhanny, sekalipun dari segi sanadnya Qath'i. Sebaliknya, adalah Khabar ahad itu bersifat Qath'i, Meskipun sanadnya Zanny.

Sedangkan menurut golongan hanafiah diaebabkan mereka itu menganggap bahwa yang 'am itu memiliki dalalah Qath'I maka kabar¬-kabar ahad tersebut tidak dapat menTakhsiskan keumuman AI-Qur’an, kecuali apabila sebelumnya memang sudah di Takhsis. Sebab mereka beralasan, yang Zhanny itu tidak dapat menTakhsis yang Qath'I, dan menurut mereka, Takhsis itu berfungsi sebagai penjelas (bayan), tetapi ia membatalkan terhadap fungsi ebagian dari 'am. Mereka juga menegaskan, bahwa 'am dengan pengertiannya yang umum itu berarti telah berfungsi sebagai penjelasan, jadi tidak lagi membutuhkan suatu penjelasan lain. Mereka mengambil contoh Firman Allah :
Artinya :    

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, (Qs. Al- Maidah : 6 )

Berbeda halnya dengan pendapat golongan Syafi’I, Hanbali dan Maliki Dalam berwudhu mereka mengsyaratkan) gadanya tertib (urut-urutan) berdasarkan Hadist Nabi :
لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ امْرِى ءٍ حَتىَ يَضَعَ الطُّهُوْرَ مَواَضِعَهُ فَيَغْسِلُ وَجْهَهُ ثُمَّ يَدَهُ
Artinya :

“Allah tidak menerima shalatnya seseorang, Kecuali kalau die bersuci secara benar, yaitu membasuh mukanya, lalu tangannya dan seterusnya”

Hadist itu menunjukan keharusan adanya tertib dalam berwudhu. Akan tetapi golongan Hanafi mengambil dasar kewajiban berwudhu itu dari Nash ayat tersebut mereka menggap bahwa keharusan tertib yang dijelaskan dalam Hadist itu, hanya berfungsi sebagai penguat saja.

Tapi perlu diketahui, bahwa imam Maliki meskipun ia berpendapat bahwa dalalah keumuman Al-Qur’an itu bersifat Zhanny karena dilihat secara lahir, namun baginya tidak selalu keumuman AlI-Qur’an dapat ditakhsis dengan Khabar ahad. Namun terkadang, keumuman Al-Qur’an itu dapat di takhsis oleh Sunnah Ahad, sebagaimana firman Allah dalarn surat An-Nissa :
Artinya :
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian” (Q.S. An¬-Niasa.-24)
Yang di takhsis dengan Sabda Nabi SAW.
لاَ تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا
Artinya :
“Seorang wanita tidak bisa dikawini bibi dari Ayahnya/bibi dari lbunya.
d.MenTakhsis yang Umum ('AM)
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa mayoritas ulama telah sepakat bahwa lafazh yang 'AM itu menunjukan kepada setiap satuan yang dicakupnya, sekalipun mereka berselisih dalam hal kekuatan penunjukan dalamnya terhadap setiap yang dicakup itu; apakah qath'i atau zanny, disamping telah diterangkan bentuk perselsihan.

Lafazh 'am itu terbagi atas dua macam, yaitu 'am yang dapat dimasuki takhshiah dan 'am yang tidak dimasuki takhshiah. Karena itu harus ada dalil yang menunjukkan bahwa ia benar-benar ditaksis. golongan hanafi berpendapat bahwa yang bisa mentaksis 'am adalah lafazh yang berdiri sendiri bersama dalam suatu zaman Serta mempunyai kekuatan yang sama dilihat dari segi qath'i / zhannynya. Sebagaimana contoh adalah firman Allah:

Artinya :
“dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”. (Qs.An- Nisaa:24)
Lafadz 'am ini telah ditakhshish dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
لاَ تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا  وَلاَ عَلىَ اِبْنَةَ اَخِيْهاَ وَلاَ اِبْنَةِ اُخْتِهاَ اِنَّكُمْ اِنْ فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ اَرْحاَ مَكُمْ
Artinya :
“Seorang wanita tidak bisa dikawini bibi dari Ayahnya/bibi dari lbunya.  Dan pula dengan keponakan dari saudaranya/keponakan dari saudaranya. Sebab jika kamu berbuat itu berarti kamu telah memutuskan familimu”.
Hadits ini tergolong hadits Masyhur , yang dalam konteks ini ia sebagai contoh yang mentakhsis keumuman Al- Quran yang qath'i.

Syarat-Syarat yang mentakhsis yang 'am ada 3 yaitu :
a.harus berdiri sendiri
b.harus bersama dalam massa
c.harus sama derajatnya dengan 'am, apakah zanny atau qath'i
Adapun contoh 'am yang ditakhsis dalam firman Allah tentang waris :
يُوْصِكُمْ اللهُ فىِ اَوْلاَدِكُمْ لِذَكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ
Ayat ini memakal lafaz- lafazh 'am, ditakhsis dengan dalil lafazh yang berdiri sendiri dan bersamaan dalam masa yaitu sabda Nabi SAW:
لاَمِيْرَا ث لِقاَتِلٍ
Artinya:
“si pembunuh itu lidak berhak mendapatkan harta warisan
Dan ditaksis lagi dengan sabda Nabi SAW :
لاَيُرِ ثُ اهلُ مِلَتَيْنِ
Artinya:
" orang yang berlainan agama tidak berhak sedikitpun memperoleh harta warisan"
Betapapun para ulama fiqih berbeda pendapat tentang banyaknya pentakhsis Serta kekuatanya, namun mereka sepakat dalam menetapakan bahwa takhsis bukan berarti mengeluarkan sebagian satuan yang 'am (umum) setelah berada didalamnya dari segi hukum.

2.Khas
a.Pengertian Khas

Khas adalah “Isim Fail” yang berasal dari kata kerja :
حَصَصَ, يُخْصِّصُ, يُخَصِيصاً, خاَصِّ
Artinya :
“yang mengkususkan atau menentukan”
Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan khas adalah :
مَالاَ يَتَناَوَلُ دَفْعَةً سَيْئَيْنِ فَصاَعَداً مِنْ غَيْرِ خَصٍ
Artinya :
"sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua/lebih tanpa batas.”
Contoh
a.رَجُل Artinya seorang laki- laki, dalam hal ini terbatas pada seorang saja.
b.رُجُلاَن Artinya dua orang laki- laki dalam hal ini terbatas pada dua orang saja.
Adapun yang dimaksudkan dengan Takhsis dalam istilah ushul fiqh adalah :
Artinya :
إِحْراَجُ بَعْضِ كاَنَ داَخِلاً تَحْتَ الْعُمُوْمِ عَلىَ تَقْدِيْرِ عَدَمِ المُخَصَّصِ.
“mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”

b.Pembagian Mukhasis
Mukhasis ada dua macam yaitu:
a.Mukhasis Mutasil ( الغاية    )
Mukhasil yang bersambung adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan , berhubungan erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
 

Adapun beberapa macam Mukhasis muttasil antara lain :
1).Pengecualian (AI- Iatina)
Contoh firman Allah Surat Al-Ashar ayat 2-3 :
Artinya :
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-Ashar: 2- 3)

Jadi yang dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman dun yang beramal Soleh. Pengkususan pada ayat tersebut adalah dengan jalan mengecualian, yakni dengan memakai huruf stana.
Artinya :
“………dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. “ (Qs Al- Baqarah228)
 

2).Syarat (الشرط)
Artinya :
“………dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. “ (Qs Al- Baqarah228)
Dalam ayat tersebut dikatakan, lebih berhak kembali pada istrinya. Maksudnya adalah dalam masa iddah, tetapi dengan syarat bila kembalinya itu dengan maksud ialah lafaz yang menujukakan pada ayat tersebut adalah “Jika”    ( ان )
 

3)Sifat   ( الصِّفَةُ )
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَاءً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةً مُؤْمِنَةٍ
(Qs. Al- Anisa : 42).
Sifat yang mengkhususkan dalam ayat tersebut adalah sifat muknim yakni yang diremehkan itu harus/dikhususkan pada hamba yang muknim.
 

4).Kesudahan    (الغاية)
Contoh firman Allah :
Artinya :
"....dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci ... (Q.S Al- baqqrah 222)
 

5).Sebagai Ganti Keseluruhan ( بَدَلُ البَعْضِ مِنْ الكُلِّ)
Contoh firman Allah :
Artinya :
“…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali-Imiran: 97)

Lafazh (مِنْ) dan sesudahnya pada ayat tersebut , menghususkan keumuman sebelumnya, arti sebagian orang yang "mampu' Mengganti, keumuman wajib nya manusia untuk haji.
b.Mukhasis Munfasil
Mukhasis munfasil adalah dalil umum / makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri. Yakni tidak berkumpul tetapi terisah , Mukhasis munfasil ada beberapa macam :
 

1).Kitab di- taksis dengan kitab
Contohnya firman Allah :
Artinya :
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (Q.S.A1-Baqarah : 228)
Ayat tersebut, umum : tercakup juga orang hamil maka datang ayat, lain yang mengkhususkan bagi wanita hamil yang berbunyi:
Arinya :
“ ……. dan begitu perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S Al- Talaq: 4)
 

2).Kitab di- Takhsis dengan Sunnah
Contoh firman Allah :
Artinya :
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Q.S :An- Nisaa: 11)
Ayat tersebut bersifat umum, yakni mencakup anak yang kafir, kemudian dataing hadist yang mengkususkannya berbunyi:
لاَ يُرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرِ وَلاَ الكاَفِرِ المُسْلِمِ
Artinya :
“Tidak boleh mewarisi seseorang musulim puda seorang kafir, dan tidak boleh (juga) kafir pada muslim (HR. Bukhari)
 

3).Sunnah di-Takhsis dengan Kitab
Sebagai contoh adalah Hadits Nabi yang berbunyi :
Artinya
“Allah tidak menerima shalat seorang diantara kamu bila masih berhadas hingga berwudhu " (HR. Bukhari, Muslim)
Hadits tersebut adalah Umum, yakni termasuk dalam keadaan tidak dapat memperoleh air, kemudian dikhususkan oleh ayat yang berbunyi:
Artinya :
“Dan jika kamu sakit/sedang dalam musafir/datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayamumlah kamu dengan tanah bersih .... "
 

4).Sunnah di-Takhsis dengan Sunnah
Sebagai contoh adalah Hadits Nabi yang berbunyi :
Artinya:
“Tanaman yang dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah seper sepuluh (l0%)" (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut di-Takhsis dengan hadits yang berbunyi :
Artinya :
“Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq” (HR. Bukhari dan Muslim)
 

5).Men- Takhis dengan Qiyas
Artinya :
“Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu, halal dilanggar kehormatannya dan boleh dihukum" (HR. Ahmad)

Hadist tersebut ialah umum, yakni siapa saja yang menunda-nunda pembayaran hutang, padahal ia mampu untuk membayar, termasuk ibu atau bapak. Kemudian dikhususkan, yakni bukan termasuk ibu dan bapak dengan jalan meng-Qiyas firman Allah yang artinya :
Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (Qs Al-Isra:23)

Tidak boleh memukul melanggar kehormatan kedua orang tua adalah hasil Qiyas dari larangan mencakup "ah" terhadap-Nya. Karena memukul atau melanggar kehormatan, lebih tinggi kadar menyakitkannya dari pada mengucap "ah". Qiyas yang demikian dinamakan Qiyas Qulawi. Sebagian ulama berpandangan bahwa yang demkian bukan dinamakan Qiyas Qulawi, tetapi diaebut Mafhum Muwafaqah.
 

B.Muradif dan Musytaraq
1.Muradif

a.Pengertian Muradif
Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna. Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Kaidah para Jumhur ulama sebagai beriku:
Artinya:
Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.

Al-Qu’ran semenjak di turunkanNya hingga datangnya hari Akhir senantiasa terjaga sebagaimana pertama diturunkan-nya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu dikritisi, tidak memerlukan edisi revisi, ataupun pengurangan kosakata, begitu sangat sempurna, Dia-lah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa, yang telah menurunkan-nya juga kepada Nabinya Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam melalui delegasi terpercanya Malaikat Jibril Alaihi-Salam. Maka karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kaliamat “Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat ”Allahul A’djom”,  “Allahul Ajal” dan sebagainya.
 

b.Hukum Muradhif
Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan asal masih satu bahasa. Tentang lafal Qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa kita harus membaca lafal-lafal itu sendiri.

1.Musytaraq
Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اشترك yang berarti “bersekutu” seperti dalam ungkapan اشترك القوم yang berarti “kaum itu bersekutu”. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah anatara lain:

Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”

Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata قرء  yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata “"يد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata سنة  dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
a.Sebab-sebab terjadinya lafadz Mustaraq
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytaraq dalam bahasa arab sangat banyak sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
1).Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
2).Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan تردد) ) antara makna hakiki dan majaz.
3).Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد)) antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاة yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.

b.Ketentuan Hukum Lafadz Mustaraq
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
1).Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
2).Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.
3).Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.

c.Contoh-contoh lafadz mustaraq
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Lafadz المحيض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).

Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut:

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).

Dalam surat Al-Baqarah ayat 229:

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain. “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadz الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadz الصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalam surata Al-Ahzab ayat 56:

Artinya:
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”.

Lafadz الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.

C.Amr Dan Nahyun
1.Amr

a.Pengertian Amr
Menurut jumhur ulama Ushul, definisi amr adalah lafazh yang menunjukkan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
b.Hukum Lafadz Amr
Menurut Dr. Muhammad Zakariya al-Bardisy, yang dikutip oleh H. Ahmad Abd. Madjid, M.A. di dalam bukunya Ushul Fiqih, “Jumhur sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan atas wajibnya suatu tuntutan yang secara muthlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari pada ketentuan amar tersebut”. Juga berdasarkan kaidah:
ﺍﻷﺼﻞ ﻓﻰ ﺍﻷﻣﺭﺍﻟﻭﺟﻭﺏ
Artinya: “Arti pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang diperintahkan)”.

Contoh, firman Allah SWT yang artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis”.

Dan juga amar menunjukkan atasnya anjuran (nadab), berdasarkan kaidah:
Artinya: “Arti pokok dalam amar ialah menunjukkan anjuran (nadab)”.

Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib) seperti sembahyang lima waktu, ada kalanya untuk anjuran seperti sembahyang dhuha. Antara kemestian dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran.

Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak mutlaq lagi, lagi pula terdapat qarinah yang dapat merubah ketentuan tersebut, maka amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan kepada hukum sunnat atau mubah dan lain sebagainya sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.
c.Macam-macam Lafadz Amr
1).Berbentuk fi’il amar (perintah langsung)
2).Berbentuk fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam amar

2.Nahyun
a.Pengertian Nahyun
Menurut ulama ushul, definisi nahyu adalah kebalikan dari amar yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan.
b.Hukum Lafadz Nahyun
Seperti yang disebutkan dalam kaidah:

Artinya: “Bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya pebuatan yang dilarang)”.

Kecuali apabila ada qarinah yang mempengaruhinya, maka nahi tadi tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya, sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya itu.

D.Mutlaq Dan Muqayyad
1.Pengertian Lafadz Mutlaq

Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami,Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan muqayyad:
a.Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
b.Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat  sesuatu menurut apa adanya.
c.Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.

Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak. Sedangkan menurut istilah  adalah suatau kata yang menunjukan suatu materi dengan tanpa ikatan.Mutlaq dan  Muqayad  itu sama dengan ‘am dan Khasa. Mutlaq adalah Lafaz yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan kepada suatu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lapadz mutlaq ini pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif. Misalnya lapadz (seorang budak ) dalam ayat: (maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang budak) ……(Al-Mujadalah [58]: 3).

Peryataan ini di liputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baiki yang mukmin atau yang kafir. Lapdz “raqabah” adalah nakiroh dalam konteks positif. Karena itu pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Juga seperti ucapan Nabi: “Tak ada pernikahan tanpa seorang wali.” (Hadist Ahmad dan empat imam). “Wali” di sini adalah mutlak, meliputi semua jenis wali baik yang berakal atau tidak. Oleh karena itu Ulama Ushul mendefinisikan mutlak dengan “suatu ungkapan dengan isim nakirah dalam kontek positif. Pengecualin isim nakirah dalam konteks negatif (nafi) karna nakirah dalam konteks negatif memeliki arti umum menyangkup semua individu yang termasuik jenisnya.

Muqayad adalah lapadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-kata “raqabah” yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat: (maka [henedaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman). An-Nisa’ [4]: 92).

Para ulam berkata:”kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan muqayad),maka yang mutlaq itu ditafsirkan denganya. Dan jika tidak ditemukan, maka juga tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan yang muqayad tetap pada maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya kepada kita dengan Bahasa Arab.

2.Kaidah Mutlaq dan Muqayyad
a.Jika tempat pengambunganya hanya satu maka wajib di taqyidd.
b.Jika tempat pengambungan lebih dari satu maka tidak wajib ditaqyyid.

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:

Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
a.Ayat mutlaq
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

b.Ayat Muqayyad
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir). Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:
a.Ayat mutlaq :
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu

“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah…”

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.

b.Ayat Muqayyad:

Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.

Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.

Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh :
a.Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.

b.Muqayyad
Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan)  yang tidak sengaja, yaitu :
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.  Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.

Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
a.Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”

Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.

b.Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”

Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.

Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama  berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.


BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut;
1.‘Am ialah yang menunjukan pada jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku
2.Khas adalah sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua/lebih tanpa batas
3.Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna. Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’
4.Musytaraq adalah Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut
5.Amr adalah lafazh yang menunjukkan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
6.Nahyu adalah kebalikan dari amar yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan.
7.Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya.
8.Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu.
9.Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu
10.Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.

B.Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang memiliki keterbatasan ilmu yang hanya mengandalkan buku referensi dan rujukan yang telah ada saja. Oleh karena itu, penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Kaidah Ushulluiyyah ini terutama ‘Am dan khas, muradif dan musytaraq, Amr dan nahyun, serta mutlaq dan muqayyad. diharapkan agar setelah membaca makalah ini, kemudian membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, yang tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.


DAFTAR PUSTAKA
Djalil, Basiq. 2009. Ilmu Ushul Fiqhi. Jakarta: Kencana.
Minhajuddin, dkk. 2009.Ushul Fiqhi. Makassar: Alauddin Press.
Haroen, Nasrun. 1995.Ushul Fiqhi. Jakarta: Logos.
Http:// www.google.com

No comments:

Post a Comment