BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar
biasa yang dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan.makalah ini
membahas tentang mukjizat al-quran Diantara
kemurahan Allah terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugerahkan
fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari
masa kemasa mengutus seorang rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup
dari Allah dan mengajak manusia untuk beribadah kepada-Nya semata. Setiap rasul
yang diutus selain membawa kitab yang didalamnya mengandung kabar gembira dan
peringatan, juga Allah bekali mereka dengan berbagai mukjizat untuk membantu
mereka dalam berbagai kesulitan dan tantangan dari masyarakat yang menolak
risalahnya sesuai dengan tingkat dan pola pikir masyarakatnya.
Nabi Muhammad Saw., diutus
ketika masyarakat Arab ahli dalam bahasa dan sastra. Dimana-mana diadakan
musabaqah (perlombaan) dalam menyusun syair atau khutbah, petuah dan nasehat. Syair-syair
yang dinilai indah, digantung dika’bah sebagai penghormatan kepada penggubahnya
sekaligus untuk dapat dinikmati oleh yang melihat dan membacanya. Penyair
mendapat kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat Arab.
Pada saat
turunnya al-Quran sebenarnya orang-orang Arab adalah masyarakat yang paling
mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al-Quran serta ketidak mampuan
mereka untuk menyususun seumpamanya. Namun diantara mereka tidak mengakuinya,
bahkan suatu kali mereka menyatakan bahwa al-Quran adalah syair, al-Quran
adalah sihir ulung atau pendukunan. Karenanya al-Quran datang menantang mereka
untuk menyusun semacam al-Quran, ternyata mereka tidak mampu menyusun seperti
susunan al-Quran yang indah dan bersastra tinggi, maka jelaslah kemukjizatan
al-Quran. Untuk mengkaji lebih lanjut tentang mukjizat al-Qur an, maka dalam
makalah ini akan dibahas tentang pengertian mukjizat, macam-macam mukjizat,
bentuk dan tahapan tantangan al-Quran, aspek-aspek kemukjizatan al-Quran, dan tujuan al-Qur’an
B.
RUMUSAN
MASALAH
Untuk lebih memudahkan dalam memahami makalah ini maka
penulis membuat rumusan sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dari mukjizat?
2.
Sebutkan dan jelaskan macam-macam
mukjizat?
3.
Sebutkan tahapan-tahapan Al-Qur’an?
4.
Apa saja segi-segi kemukjizatan Al Qura’an?
5.
Sebutkan fungsi dan tujuan
Al-Qur’an?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, kita dapat
mengetahui tujuan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui
pengertian mukjizat
2. Mengetahui
macam-macam mukjizat
3. Mengetahui tahapan-tahapan
Al-Qur’an
4. Mengetahui
segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an
5. Mengetahui
fungsi dan tujuan mukjizat Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MUKJIZAT
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar
dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Kata mukjizat terambil dari bahasa Arab أعجز (a’jaza) yang berarti melemahkan
atau menjadikan tidak mampu. Sedangkan kata أعجز (a’jaza) itu sendiri berasal dari
kata عجز (‘ajaza) yang berarti tidak mempunyai kekuatan (lemah).
Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan
pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka dinamaiمعجزة (mu’jizat). Tambahan ta marbuthah
pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).
Mukjizat
didefenisikan oleh pakar agama islam ,antara lain ,sebagai sesuatu hal atau
peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang nmengaku kepada yang
ragu ,untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa ,namun mereka tidk mampu
melayani tantangan itu.
Dengan
redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu yang luar
biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti
atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Dalam al-Quran, kata ‘ajaza
dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat.
Dalam Kamus
al-Mu’jam al-Washith, mukjizat diartikan:
أمر خارق للعادة يظهره الله على يد نبي تابدا لنبوته
“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang
ditampakkan Allah diatas kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya.”
Imam
Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa mukjizat itu adalah:
أمر خارق للعادة, مقرون بالتحدى, سالم من المعارضة
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang disertai tantangan dan
selamat (tidak ada yang sanggup) menjawab tantangan tersebut.”
Sedangkan
menurut Manna al-Qattan, I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan.
Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu,
lawan dari qudrah (potensi, power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul,
maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan. Yang dimaksud dengan
i’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya
sebagai seorang rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab dalam melawan
mukjizat yang kekal yakni al-Quran.
Maka
mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang
dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan. Al-Quran menantang
orang-orang Arab, mereka tidak kuasa melawan meskipun mereka merupakan
orang-orang yang fasih, hal ini tiada lain karena al-Quran adalah mukjizat.
Berdasarkan
defenisi diatas maka dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu:
1. Mukjizat harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan.
2. Mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan, dan
3. Mukjizat tidak terkalahkan.
Sedangkan
menurut M. Qurais Shihab ada empat unsur yang harus menyertai sesuatu sehingga
ia dinamakan mukjizat. Keeempat unsur itu adalah:
1.
Hal atau peristiwa yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa alam, misalnya, yang terlihat
sehari-hari, walaupun menakjubkan tidak dinamai mukjizat, karena ia telah
merupakan sesuatu yang biasa. Yang dimaksud dengan luar biasa adalah sesuatu
yang berada di luar jangkauan sebab dan akibat yang diketahui secara umum
hukum-hukumnya. Dengan demikian, hipnotisme atau sihir, misalnya, walaupun
sekilas terlihat ajaib atau luar biasa, namaun karena ia dapat dipelajari maka
ia tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.
2.
Terjadi atau dipaparkan oleh seorang
yang mengaku nabi
Tidak mustahil terjadi hal-hal di luar kebiasaan pada diri
siapa pun. Namun apabila bukan dari seorang yang mengaku nabi, maka ia tidak
dinamai mukjizat. Boleh jadi sesuatu yang luar biasa tampak pada diri seorang
yang kelak bakal menjadi nabi. Ini pun tidak dinamai mukjizat tetai irhâsh. Boleh jadi juga keluarbiasaan
itu terjadi pada seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi ini pun tidak
dapat disebut mukjizat. Hal seperti ini dinamai karâmah atau kekeramatan, yang bahkan tidak mustahil terjadi pada
seseorang yang durhaka kepada-Nya. Yang terakhir ini dinamai ihânah (penghinaan) atau istidrâj (“rangsangan” untuk lebih
durhaka).
Bertitik tolak dari keyakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad
SAW adalah nabi terakhir, maka tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat
sepeninggalnya, walaupun ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat lagi
terjadi dewasa ini.
3.
Mengandung tantangan terhadap yang
meragukan kenabian
Tentu saja tantangan ini harus berbarengan dengan
pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelum atau sesudahnya. Di sisi lain,
tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang sejalan dengan ucapan sang
nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat berbicara,” tetapi ketika batu
tersebut berbicara, dikatakannya bahwa “sang penantang berbohong” maka
keluarbiasaan ini bukanlah suatu mukjizat tetapi ihânah atau istidrâj.
4.
Tantangan tersebut tidak mampu atau
gagal dilayani
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, maka ini
berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di
sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang.
Bahkan untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemukjizatan
masing-masing nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Misalnya
mukjizat Nabi Musa yang beralihnya tongkat menjadi ular yang dihadapkan kepada
masyarakat yang amat mengandalkan sihir. Mukjizat yang begitu jelas ini
benar-benar membungkamkan para ahli sihir yang dintang oleh Babi Musa sehingga
mereka tak kuasa kecuali mengakui kekalahan mereka, walaupun Fir’aun mengancam
dengan aneka ancaman (QS Thâhâ [20]: 63-76).
Misalnya juga Nabi Shaleh yang
menghadapi kaum Tsamud yang amat gandrung melukis dan memahat, smapai-sampai
relief-relief indah “bagiakan sesuatu yang hidup” menghiasi gunung-gunung
tempat tinggal mereka (QS Al-A’râf [7]: 74 dan Al-Fajr [89]: 9). Kepada mereka
disodorkan mukjizat yang sesuai dengan “keahlian” itu, yakni keluarnya seekor
unta yang benar-benar hidup dan batu karang yang kemudian mereka lihat makan
dan minum (QS Al-A’râf [7]: 73 dan QS Asy-Syu’aâ’ [26]: 155-156) dan bahkan
mereka pun meminum susu unta tersebut.
Ketika itu, relief-relief yang
telah mereka lukis tidak lagi berarti sama sekali dibandingkan dengan unta yang
menjadi mukjizat itu. sayang mereka begitu keras kepala dan kesal sampai mereka
tidak mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun
menjatuhkan palu godam terhadap mereka (QS Asy-Syams [91]: 13-15).
Jadi, istilah mukjizat rasanya
memiliki korelasi dengan sebuah penentangan dan perlawanan. Sedangkan hidayah
sifatnya lebih membimbing dan menunjuki, bukan menaklukkan. Namun demikian,
bisa saja mukjizat dan hidayah merupakan dua sisia dari satu mata uang. Bahwa
kandungan petunjuk Alquran akan mudah masuk diterima oleh nalar dan hati
setelah keangkuhan ego dan nalar manusia ditantang dan ditaklukkan lebih dahulu
oleh ayat-ayat Alquran. Kisah dan metode semacam ini bisa ditelusuri pada
sejarah Ibrahim, misalnya, ketika menghadapi kaumnya yang gemar menyembah
pemimpin, menyembah patung dan planet. Oleh nabi Ibrahim logika dan argumentasi
kaumnya diikuti terus, sampai pada titik tertentu mengalami kebuntuan, baru
nabi Ibrahim mengoreksi dan membimbing mereka untuk berpikir lebih logis dan
kritis. Bahwa yang paling pantas dan rasional untuk disembah itu bukannya
patung, matahari, bulan dan makhluk lain, melainkan Sang Pencipta semua itu
yang paling rasional untuk disembah dan diimani.
B. MACAM-MACAM MUKJIZAT
Secara garis
besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang
bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah
(rasional). Mukjizat nabi-nabi terdahulu semuanya merupakan jenis pertama.
Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut
dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat
nabi tersebut menyampaikan risalahnya, seperti perahu nabi Nuh yang dibuat atas
petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang
demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi Ibrahim dalam kobaran api; tongkat
nabi Musa yang berobah menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan nabi Isa atas
izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada
lokasi tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masing
nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad Saw, sifatnya bukan material
indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang
demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat
al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan
dimanapun berada.
Perbedaan
ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi Muhammad
Saw, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka
hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka.
Ini berbeda dengan nabi Muhammad SAW, yang diutus untuk seluruh umat manusia
hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap
dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kedua,
manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi sebelum nabi
Muhammad SAW amat membutuhkan bukti kebenaran
yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas
dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap
kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi.
Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi
Muhammad SAW. Keluarnya air dari celah jari-jari
beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang
beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang badar hingga menutupi
pandangan mereka, dan lain-lain merupakan hal-hal luar biasa yang telah
terjadi.
Namun demikian
dapat disimpulkan, Pertama bahwa
mukjizat itu luar biasa dalam mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang
kuasa membuatnya, selain Allah menentukan ketentuan tersebut. Kedua, bahwa
antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama fungsinya, yaitu
untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping
membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.
C. BENTUK DAN TAHAPAN TANTANGAN AL QURAN
Tantangan
yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Tantangan umum
Tantangan
ini ditujukan kepada semua golongan, baik kaum filosof, cendikiawan, ulama, dan
hukama, serta semua manusia tanpa kecuali, orang Arab atau orang Ajam, orang
putih atau orang hitam, mukmin atau kafir. Hal ini dijelaskan Allah dalam
al-Quran surat al-Isra’ ayat 88.
2. Tantangan khusus
Tantangan
ini ditujukan khusus kepada orang-orang Arab, terutama bagi orang-orang kafir
Quraisy. Tantangan bertanding khusus ini terbagi atas dua macam, yaitu :
·
Tantangan
yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu tantangan dengan seluruh al-Quran
mengenai hukum-hukumnya, keindahan bahasanya, balaghahnya dan kejelasannya. Hal
ini dijelaskan Allah dalam surat al-Thuur ayat 34.
·
Tantangan
yang bersifat juz’i (sebagian), yaitu tantangan untuk mendatangkan sepuluh
surat atau satu surat saja yang menyerupai surat-surat al-Quran. Hal ini
sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Hud ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat
23.
Adapun tahapan-tahapan tantangan
al-Quran adalah sebagai berikut:
·
Pertama,
Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan al-Quran”, sebagaimana
dipahami dari surat al-Thuur ayat 34,
ا فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا
صَادِقِينَ (الطور: 34)
“Maka hendaklah
mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika mereka termasuk
orang-orang yang benar.” (Al-Thuur : 34).
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa
ketika ayat ini turun untuk menantang orang-orang kafir Quraisy yang meragukan
dan menolak kebenaran al-Quran, maka mereka berdalih “kami tidak mengetahui
sejarah umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan al-Quran).
Adapun yang dimaksud dengan kalimat بحديث (bihadiitsin) dalam ayat diatas
adalah tandingan al-Quran, namun ternyata mereka tidak mampu mendatangkan
sesuatu yang menyamai al-Quran.
·
Kedua, Allah
meringankan tantangan, yaitu menantang untuk membuat sepuluh surat saja yang
menyamai al-Quran, sebagaimana dinyatakan Allah Swt., dalam surat Hud ayat 13,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ
مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ (هود:13)
“Bahkan mereka
mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau
demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya, dan panggillah
orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah jika kamu memang
orang-orang yang benar.” (Hud : 13).
Kata مفتريات (muftarayaat) yang diterjemahkan
dengan “dibuat-buat” dalam ayat diatas adalah tudingan orang-orang kafir
Quraisy terhadap nabi Muhammad Saw., bahwa al-Quran itu dibuat-buat, oleh
karenanya Allah menantang, kalaupun al-Quran itu dibuat-buat (bohong), jikalau
mereka mampu menyusun redaksi seindah dan seteliti al-Quran maka itu sudah
cukup untuk mengakui kebenaran dugaan mereka, tetapi tantangan kedua inipun
tidak sanggup mereka layani.
·
Ketiga,
Allah meringankan lagi tantangan, yaitu tantangan untuk membuat satu surat saja
yang menyamai al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat Yunus ayat
38,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (يونس: 38)
“Atau patutkah
mereka berkata, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya?”, Katakanlah (kalau benar
tuduhan kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan panggillah siapapun
yang dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”
(Yunus : 38).
Tiga tahapan tantangan tersebut semuanya disampaikan
ketika nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah.
·
Keempat,
Ketika nabi sudah hijrah ke Madinah Allah menantang kembali dengan tantangan
yang lebih ringan lagi yaitu membuat satu surat yang hampir sama dengan
al-Quran, sebagaimana dapat dipahami dalam surat al-Baqarah ayat 23,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا
بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة: 23)
“Dan jika kamu
(tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami
(Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya dan panggillah
penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah
: 23).
Ayat 23 yang terdapat dalam surat
al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan ayat 38 dalam surat Yunus. Perbedaannya
antara lain pada kalimat (fa’tuu bisuuratin mitslihi dan fa’tuu bisuuratin min
mitslihi). Kata من (min) disini diartikan “lebih kurang”, sehingga dengan demikian
tantangan ini lebih rendah daripada tantangan sebelumnya yang menuntut membuat
satu surah tanpa menggunakan kata من(min) atau “lebih kurang”.
Memang sejak semula Allah telah
menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun al-Quran tetap menjadi mukjizat dan
tidak dapat ditandingi. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah dalam surat
al-Isra’ ayat 88,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ
هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
ظَهِيرًا(الإسراء: 88)
“Katakanlah
(hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain.”
(al-Isra’ : 88).
Dengan demikian jelaslah bahwa tahap
demi tahap tantangan al-Quran, ternyata tidak seorangpun sanggup untuk memenuhi
tantangan tersebut, terutama orang-orang Arab kafir Quraisy yang dengan
terang-tarangan tidak menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian jelaslah
mukjizat al-Quran yang benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad
Saw., yang ummi.
D. ASPEK-ASPEK KEMUKJIZATAN AL QURAN
Para ulama
sepakat bahwasanya al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan
sepadan al-Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa
aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah
(psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu, sehingga melemahkan manusia
untuk melawannya.[19] Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau
segi kemukjizatan al-Quran. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan
al-Quran adalah sesuatu yang terkandung dalam al-Quran itu sendiri, yaitu
susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun
bentuk prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku kalimatnya.
b. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan
al-Quran itu terkandung dalam lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang
bernilai sastra dan susunannya yang indah, karena nilai sastra yang terkandung
dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
c. Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena
al-Quran terhindar dari adanya pertentangan, dan mengandung arti yang lembut
dan memuat hal-hal ghaib diluar kemampuan manusia dan diluar kekuasaan mereka
untuk mengetahuinya.
d. Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi
kemukjizatan al-Quran adalah keistimewaan-keistimewaan yang nampak dan
keindahan-keindahan yang terkandung dalam al-Quran, baik dalam permulaan,
tujuan maupun dalam menutup setiap surat.
Imam
al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh segi
kemukjizatan al-Quran, sementara al-Zarkani dalam kitabnya Manahilul Irfan
mencatat empat belas segi kemukjizatan al-Quran.
Perbedaan
pendapat ulama diatas diketahui sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Jadi bukan berbeda dalam menentukan batasan-batasan kemukjizatan al-Quran,
karena aspek-aspek kemukjizatan al-Quran tidak hanya terbatas pada aspek-aspek
tertentu yang mereka sebutkan. Adapun aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah:
v Susunan bahasanya yang indah, berbeda dengan susunan
bahasa Arab.
v Uslubnya (susunannya) yang menakjubkan, jauh berbeda
dengan segala bentuk susunan bahasa Arab.
v Keagungan yang tidak mungkin bagi makhluk untuk
mendatangkan sesamanya.
v Syariat yang sangat rinci dan sempurna melebihi setiap
undang-undang buatan manusia.
v Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui
kecuali dengan wahyu.
v Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
v Al-Quran memenuhi setiap janji dan ancaman yang
dikabarkannya.
v Luasnya ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung
didalamnya.
v Kesanggupannya dalam memenuhi segala kebutuhan
manusia.
v Berpengaruh terhadap hati para pengikutnya dan
orang-orang yang memusuhinya.
Uraian
singkat tentang aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah sebagai berikut:
1.
Susunan
bahasanya yang indah.
Susunan gaya
bahasa dalam al-Quran tidak bisa disamakan oleh apapun, karena al-Quran bukan
susunan syair dan bukan pula susunan prosa, namun ketika al-Quran dibaca maka
ketika itu terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya.
Cendikiawaan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran,
menulis: “Al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap
nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”.
Struktur
yang indah, menakjubkan dan luar biasa dalam aspek balghah.Sangat indah
menjelaskan bahwa manusia tidak menandinginya.Para ulama menyatakan bahwa
kemukjizatan al-Qur’an terletak pada sejumlah kelebihan tersebut.Berikut ini,
akan kami jelaskan beberapa perincian atas penjelasan global yang mereka
sampaikan itu.
2. Uslubnya yang menakjubkan.
Al-Quran
muncul dengan uslub yang sangat baik dan indah, mengagumkan orang-orang Arab
karena keserasian dan keindahannya, keharmonisan susunannya. Didalamnya
terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akn terdapat dalam ucapan manusia.
3. Keagungannya.
Al-Quran
mempunyai kemegahan ucapan yang luar biasa yang berada diluar kemampuan manusia
untuk menguasainya atau mendatangkan persamaannya. Kandungan al-Quran dapat
mempengaruhi jiwa-jiwa pendengarnya dan dapat melembutkan hati-hati yang keras.
4. Syariat yang sangat rinci dan sempurna.
Al-Quran
menjelaskan pokok-pokok akidah, hokum-hukum ibadah, norma-norma keutamaan dan
sopan santun, undang-undang hukum ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan.
Al-Quran juga mengatur kehidupan keluarga, menjunjung nilai-nilai kebebasan,
keadilan (demokrasi) dan musyawarah.
5. Berita tentang hal-hal yang gaib.
Al-Quran
mengungkap sekian banyak ragam hal gaib. Al-Quran mengungkap kejadian masa
lampau yang tidak diketahui lagi oleh manusia, karena masanya telah demikian
lama, dan mengungkap juga peristiwa masa datang atau masa kini yang belum
diketahui manusia.
6. Sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.
Al-Quran
memuat petunjuk yang detail mengenai sebagian ilmu pengetahuan umum yang telah
ditemukan terlebih dahulu dalam al-Quran sebelum ditemukan oleh ilmu
pengetahuan modern. Tiori al-Quran itu sama sekali tidak bertentangan dengan
tiori-tiori ilmu pengetahuan modern, baik itu ilmu alam, arsitek dan fisika,
geografi dan kedokteran.
7. Menepati janji.
Al-Quran
senantiasa menepati janji dalam setiap apa yang telah dikabarkannya serta dalam
setiap janji Allah kepada hamba-Nya, baik janji mutlak seperti janji Allah
untuk menolong rasul-Nya, maupun janji terbatas yaitu janji yang bersyarat
seperti harus memenuhi syarat takwa, sabar, menolong agama Allah, dan
sebagainya.
8. Terkandung ilmu pengetahuan yang luas.
Al-Quran datang
dengan membawa berbagai ilmu pengetahuan tentang akidah, hokum (undang-undang),
etika, muamalat, dan berbagai lapangan lain dalam pendidikan dan pengajaran,
politik dan ekonomi, filsafat dan sosial.
9. Memenuhi segala kebutuhan manusia.
Al-Quran
datang dengan membawa petunjuk-petunjuk yang sempurna, fleksibel lagi luwes,
dan dapat memenuhi segala kebutuhan manusia pada setiap tempat dan masa.
10. Berkesan dalam hati.
Al-Quran
dapat menggetarkan hati pengikut dan penantangnya. Seseorang yang sangat
memusuhi al-Quran bisa berbalik dibawah lindungannya. Umar bin Khattab, Sa’ad
bin Mu’az, dan Usaid bin Hudhair misalnya, mereka adalah orang-orang yang
paling kejam terhadap kaum muslimin tetapi disebabkan mendengarkan beberapa
ayat al-Quran maka hatinya luluh dan masuk islam.
Filosof
Perancis mengatakan “Sesungguhnya Muhammad Saw., membaca al-Quran dengan
khusyuk, sopan dan rendah hati, untuk menarik hati manusia agar beriman kepada
Allah, dan hal ini melebihi pengaruh yang ditimbulkan semua mukjizat nabi-nabi
terdahulu.
E.
TUJUAN DAN
FUNGSI MUKJIZAT
Mukjizat berfungsi sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang
tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan tuhan : “Apa
yang dinyatakan sang nabi adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya
adalah aku melakukan mukjizat itu.”
Mukjizat,walaupun dari segi bahasa berarti melemahkan tetapi dari segi
agama , ia sama sekali tidak dimaksudkan untuk melemahkan atau membuktikan
ketidakmampuan yang ditantang. Mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui
hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran ilahi yang dibawa
oleh masing-masing nabi. Jika demikian hal nya, ini paling tidak mengandung dua
konsekuensi.
Pertama, bagi yang telah percaya kepada nabi, maka dia tidak lagi
membutuhkan mukjizat. Dia tidak lagi ditantang untuk melakukan hal yang sama.
Mukjizat yang dilihat atau dialaminya hanya berfungsi memperkuat keimanan serta
menambah keyakinannya akan kekuasaan Allah SWT.
Kedua, para nabi sejak nabi Adam a.s. hingga isa a.s. diutus untuk suatu
kurun tertentu serta masyarakat tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan
sebagai mukjizat pasti tidak dapat
dilakukan umatnya sehingga mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba
pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran Ilahi yang dibawa oleh
masing-masing nabi.
F.
PERBEDAAN
PENDAPAT DIKALANGAN ULAMA
Para ulama
telah berbeda pendapat ketika menjelaskan aspek-aspek kemukjizatan Alquran. Perbedaan pendapat itu dapat dilihat pada
uraian berikut:
1.
Menurut
Golongan Sharfah
Sampai menjelang abad III H.,
terma i’jaz masih dipahami oleh para
ulama sebagai keunikan Alquran yang tidak dapat ditiru oleh siapapun. Namun,
berkat pengaruh Al-Jahiz, seorang tokoh Mu’tazilah, terma itu belakangan lebih
dispesifikkan pada gaya retorika Alquran. Pada perkembangan selanjutnya,
seorang tokoh Mu’tazilah lainnya, yakni Abu Ishaq Al-Nazhzham (w. 231 H.). dan
tokoh Syi’ah, yakni Al-Murtadha, berpendapat bahwa kemukjizatan Alquran itu
disebabkan adanya shafah (pemalingan),
yakni Allah –sebagaimana didefinisikan An-Nazhzham—telah memalingkan manusia
untuk menantang Alquran dengan cara menciptakan kelemahan padanya sehingga
tidak dapat mendatangkan suatu yang sama dengan Alquran. Seandainya Allah tidak
memalingkan manusia, menurut AN-Nizhzham, pasti manusia mampu menandingi
Alquran. Sementara itu, Al-Murtadha menjelaskannya bahwa Allah telah mencabut
ilmu yang dibutuhkan dalam bertanding.
Padangan seperti ini mendapat
dukungan pula dari tokoh Mu’tazilah lainnya seperti Hisaya Al-Fawaitu (w. 218
H.), ‘Abbad bin Sulaiman (w. Abad ke 3 H.), Abu Hasan ‘Ali bin ‘Isa Ar-Rumani.
Dan Ibn Hazm Al-Andulusi (dari golongan Azh-Zhahiri). Ibn Hzm lebih jauh
berpendapat bahwa ketika berfirman, Allah memberi daya yang melemahkan manusia
untuk menandingi Alquran. Sementara itu, ‘Ali bin Isa Ar-Rmani melihat lebih
jauh lagi, takni bahwa Allah telah mengalihkan perhatian umat manusia sehingga
mereka tidak mempunyai keinginan menyusun suatu karya untuk menandingi Alquran.
Membuat orang tidak tertarik melakukan rivalitas terhadap kitab suci ini
merupakan sesuatu yang luar biasa.
Pendapat tokoh-tokoh besar
Mu’tazilah itu tidak terlepas dari penghargaan mereka terhadap kemampuan akal
manusia. Akan tetapi, pendapat diatas kemudian dikritik keras oleh para ulama
di luar Mu’tazilah, dan juga dari sebagian ulama Mu’tazilah sendiri yang
melihat kemukjizatan Alquran dari
sudut informasi-informasi ajarannya, ilustrasi, dan kebahasaannya.
Para ulama yang membantah paham sharfah menjelaskan bahwa paham ini
telah menuduh Tuhan menantang seseorang yang berbicara, tetapi lidah orang itu
terlebih dahulu dipotong (dilemahkan) oleh-Nya. Padahal, jika dirunut dari
latar belakang teks-teks tentang tahaddi (tantangan
) Alquran, jelaslah bahwa kaum kafir Quraisy pada saat itu merasa mampu mendatangkan
kitab serupa Alquran meskipun nyatanya tidak berdaya atau tidak berhasil.
Pandangan sharfah ini, menurut
mereka, mengimplikasikan pandangan bahwa sebenarnya kemukjizatan Alquran bukan karena esensi (dzat)-nya, tetapi karena
ada faktor lain. Yakni pemalingan potensi manusia oleh Tuhan. Dengan kata lain,
paham ini menjelaskan bahwa Alquran bukan mu’jizat
dztini, tetapi mu’jizat ghairihi.
Secara rinci, Ar-Zarkasyi
mengemukakan kelemahan argumen An-Nazhzham dan Ar-Rumani diatas, sebagai
berikut.
·
Firman
Allah pada surat Al-Isra’ (17) ayat 88 memperlihatkan kelemahan bangsa Arab
menyusun karya besar yang sejajar dengan Alquran. Kalau Allah melarang mereka,
maka yang mu’jiz (melemahkan) itu
bukan Alquran, tetapi justru Allah sendiri. Padahal, ayat itu menantang mereka
menyusun karya yang sejajar dengan Alquran, bukan untuk menandingi kebesaran
tuhan.
·
Masyarakat
Arab pada saat itu mungkin saja mampu membuat karya spesifik yang pembahasannya
sama dengan Al-Qur’am, tetapi mereka akan sangat mengalami kesukaran menandingi
isi dan ilustrasinya.
·
Alquran
mengemukakan hal-hal ghaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang dalam
kehidupan dunia ini, disamping berita-berita alam akhirat yang akan dialami
umat manusia kelak. Segala yang dikemukakan Alquran tersebut kemudian terbukti
dalam perjalanan hidup manusia ini. Misalnya, Allah memberitakan dalam surat
An-Nur [24] ayat 55 bahwa umat Islam akan menjadi adikuasa didunia ini. Dan hal
itu benar-benar telah terjadi ketika Dinasti ‘Abbasiyah berada pada masa
kejayaannya dan ketika muncuk tiga kerajaan besar, yaitu Mughal di India,
Safawi di Persia, dan Turki Utsmani di Turki antara abad 15-17 M. Alquran juga
memberitakan pada surat Ar-Rum [30] ayat 1-2 bahwa kerajaan Romawi timur akan
hancur. Ini terbukti pada abad 14 M., pasca ‘Abbasiyyah, pada masa kekuasaan
Turki Utsmani.
·
Alquran
juga mengemukakan kisah-kisah lama yang tidak terangkat dalam cerita-cerita
rakyat Arab, seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Musa dan Harun, serta
kisah-kisan nabi lain dan perlawanan masyarakatnya terhadap dakwah mereka, dan
akibat-akibat perlawanan tersebut.
Beberapa
karakter inilah yang memperkuat alasan bahwa kemukjizatan Alquran bukan
terletak pada kekuasaan Allah, tetapi karena justru Alquran sendiri yang
mempunyai kekuatan sedemikian rupa, sehingga masyarakat Arab tidak mampu
menciptakan karya yang setara. Oleh sebab itu, pernyataan orang-orang
Mu’tazilah yang menyetarakan Alquran dengan buku Ad-Durar dan At-Talamiyah karya
Ibn Al-Muqaffa’ adalah sangat keliru dan sesat. Kedua karya tersebut menurut
Al-Baqilani amat jauh dibandinkan dengan Alquran dari segi ini, ilustrasi, dan
pembahasan.
2.
Menurut
Imam Fakhruddin
Aspek kemukjizatan Alquran
terletak pada kefasihan, keunikan redaksi, dan kesempurnaannya dari segala
bentuk cacat. Sementara itu, menurut Az-Zamlakani, aspek kemukjizatannya
terletak pada penyusunan yag spesifik.
3.
Menurut
Ibn ‘Athiyyah
Yang benar dan yang dianut oleh
mayoritas ulama—di antaranya Al-Haddaq—aspek kemukjizatan Alquran itu terletak
pada runtutannya, makna-maknanya yang dalam, dan kata-katanya yang fasih. Hal
tersebut tidak perlu diherankan karena Alquran merupakan firman Allah, Zat Yang
Maha Mengetahui. Alquran sungguh diliputi oleh pengetahuan-Nya. Bila
urutan-urutan ayatnya dicermati, tampaklah keserasian antara satu ayat dengan
ayat yang mengiringinya. Serasi pula antara makna satu ayat dengan ayat yang
mengiringinya. Serasi pula antara makna satu ayat dengan ayat yang
mengiringinya. Begitulah yang terjadi pada Alquran mulai pembuka sampai
penutupnya. Mengingat manusia diliputi oleh kebodohan dan kealpaan, tidak ada
seorang pun dapat melakukan hal yang sama dengan Alquran.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian
diatas tentang mukjizat al-Quran dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan yaitu
sebagai berikut:
- Al-Quran adalah mukjizat nabi
Muhammad Saw., terbesar yang sifatnya ‘aqliyah sehingga berlaku sepanjang
zaman karena dapat dijangkau oleh perkembangan akal manusia.
- Kemukjizatan al-Quran terletak pada aspek keindahan bahasanya, kabar berita yang dibawanya, keluasan isi materi yang terkandung didalamnya ma
DAFTAR PUSTAKA
Quraish,M.Shihab. 1992. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung : Mizan.