My Menus

Jan 25, 2021

Makalah Ilmu Fikih Mukjizat

"MUKJIZAT"




DI SUSUN OLEH:
SAMSUL BAHRI
20700113033


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR


BAB I

PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

Mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan.makalah ini membahas tentang mukjizat al-quran Diantara kemurahan Allah terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa kemasa mengutus seorang rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah dan mengajak manusia untuk beribadah kepada-Nya semata. Setiap rasul yang diutus selain membawa kitab yang didalamnya mengandung kabar gembira dan peringatan, juga Allah bekali mereka dengan berbagai mukjizat untuk membantu mereka dalam berbagai kesulitan dan tantangan dari masyarakat yang menolak risalahnya sesuai dengan tingkat dan pola pikir masyarakatnya.

Nabi Muhammad Saw., diutus ketika masyarakat Arab ahli dalam bahasa dan sastra. Dimana-mana diadakan musabaqah (perlombaan) dalam menyusun syair atau khutbah, petuah dan nasehat. Syair-syair yang dinilai indah, digantung dika’bah sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus untuk dapat dinikmati oleh yang melihat dan membacanya. Penyair mendapat kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat Arab.

Pada saat turunnya al-Quran sebenarnya orang-orang Arab adalah masyarakat yang paling mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al-Quran serta ketidak mampuan mereka untuk menyususun seumpamanya. Namun diantara mereka tidak mengakuinya, bahkan suatu kali mereka menyatakan bahwa al-Quran adalah syair, al-Quran adalah sihir ulung atau pendukunan. Karenanya al-Quran datang menantang mereka untuk menyusun semacam al-Quran, ternyata mereka tidak mampu menyusun seperti susunan al-Quran yang indah dan bersastra tinggi, maka jelaslah kemukjizatan al-Quran. Untuk mengkaji lebih lanjut tentang mukjizat al-Qur an, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian mukjizat, macam-macam mukjizat, bentuk dan tahapan tantangan al-Quran, aspek-aspek kemukjizatan al-Quran, dan tujuan al-Qur’an

 

B.   RUMUSAN MASALAH

Untuk lebih memudahkan dalam memahami makalah ini maka penulis membuat rumusan sebagai berikut :

1.      Apa pengertian dari mukjizat?

2.      Sebutkan dan jelaskan macam-macam mukjizat?

3.      Sebutkan tahapan-tahapan Al-Qur’an?

4.      Apa saja segi-segi kemukjizatan Al Qura’an?

5.      Sebutkan fungsi dan tujuan Al-Qur’an?

C.     TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, kita dapat mengetahui tujuan makalah ini yaitu sebagai berikut:

1.      Mengetahui pengertian mukjizat

2.      Mengetahui macam-macam mukjizat

3.      Mengetahui tahapan-tahapan Al-Qur’an

4.      Mengetahui segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an

5.      Mengetahui fungsi dan tujuan mukjizat Al-Qur’an

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN MUKJIZAT

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Kata mukjizat terambil dari bahasa Arab أعجز (a’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Sedangkan kata أعجز (a’jaza) itu sendiri berasal dari kata عجز (‘ajaza) yang berarti tidak mempunyai kekuatan (lemah). Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka dinamaiمعجزة (mu’jizat). Tambahan ta marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).

            Mukjizat didefenisikan oleh pakar agama islam ,antara lain ,sebagai sesuatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang nmengaku kepada yang ragu ,untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa ,namun mereka tidk mampu melayani tantangan itu.

Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Dalam al-Quran, kata ‘ajaza dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat.

Dalam Kamus al-Mu’jam al-Washith, mukjizat diartikan:

أمر خارق للعادة يظهره الله على يد نبي تابدا لنبوته

 

“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang ditampakkan Allah diatas kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya.”

Imam Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa mukjizat itu adalah:

 

أمر خارق للعادة, مقرون بالتحدى, سالم من المعارضة

 

“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang disertai tantangan dan selamat (tidak ada yang sanggup) menjawab tantangan tersebut.”

Sedangkan menurut Manna al-Qattan, I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari qudrah (potensi, power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan. Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab dalam melawan mukjizat yang kekal yakni al-Quran.

Maka mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan. Al-Quran menantang orang-orang Arab, mereka tidak kuasa melawan meskipun mereka merupakan orang-orang yang fasih, hal ini tiada lain karena al-Quran adalah mukjizat.

Berdasarkan defenisi diatas maka dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu:

1.      Mukjizat harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan.

2.      Mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan, dan

3.      Mukjizat tidak terkalahkan.

Sedangkan menurut M. Qurais Shihab ada empat unsur yang harus menyertai sesuatu sehingga ia dinamakan mukjizat. Keeempat unsur itu adalah:

1.      Hal atau peristiwa yang luar biasa

Peristiwa-peristiwa alam, misalnya, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan tidak dinamai mukjizat, karena ia telah merupakan sesuatu yang biasa. Yang dimaksud dengan luar biasa adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan sebab dan akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya. Dengan demikian, hipnotisme atau sihir, misalnya, walaupun sekilas terlihat ajaib atau luar biasa, namaun karena ia dapat dipelajari maka ia tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.

2.      Terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi

Tidak mustahil terjadi hal-hal di luar kebiasaan pada diri siapa pun. Namun apabila bukan dari seorang yang mengaku nabi, maka ia tidak dinamai mukjizat. Boleh jadi sesuatu yang luar biasa tampak pada diri seorang yang kelak bakal menjadi nabi. Ini pun tidak dinamai mukjizat tetai irhâsh. Boleh jadi juga keluarbiasaan itu terjadi pada seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi ini pun tidak dapat disebut mukjizat. Hal seperti ini dinamai karâmah atau kekeramatan, yang bahkan tidak mustahil terjadi pada seseorang yang durhaka kepada-Nya. Yang terakhir ini dinamai ihânah (penghinaan) atau istidrâj (“rangsangan” untuk lebih durhaka).

Bertitik tolak dari keyakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, maka tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalnya, walaupun ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat lagi terjadi dewasa ini.

3.      Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian

Tentu saja tantangan ini harus berbarengan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelum atau sesudahnya. Di sisi lain, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang sejalan dengan ucapan sang nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat berbicara,” tetapi ketika batu tersebut berbicara, dikatakannya bahwa “sang penantang berbohong” maka keluarbiasaan ini bukanlah suatu mukjizat tetapi ihânah atau istidrâj.

4.      Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani

Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Bahkan untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemukjizatan masing-masing nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan bidang keahlian umatnya.

Misalnya mukjizat Nabi Musa yang beralihnya tongkat menjadi ular yang dihadapkan kepada masyarakat yang amat mengandalkan sihir. Mukjizat yang begitu jelas ini benar-benar membungkamkan para ahli sihir yang dintang oleh Babi Musa sehingga mereka tak kuasa kecuali mengakui kekalahan mereka, walaupun Fir’aun mengancam dengan aneka ancaman (QS Thâhâ [20]: 63-76).

Misalnya juga Nabi Shaleh yang menghadapi kaum Tsamud yang amat gandrung melukis dan memahat, smapai-sampai relief-relief indah “bagiakan sesuatu yang hidup” menghiasi gunung-gunung tempat tinggal mereka (QS Al-A’râf [7]: 74 dan Al-Fajr [89]: 9). Kepada mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan “keahlian” itu, yakni keluarnya seekor unta yang benar-benar hidup dan batu karang yang kemudian mereka lihat makan dan minum (QS Al-A’râf [7]: 73 dan QS Asy-Syu’aâ’ [26]: 155-156) dan bahkan mereka pun meminum susu unta tersebut.

Ketika itu, relief-relief yang telah mereka lukis tidak lagi berarti sama sekali dibandingkan dengan unta yang menjadi mukjizat itu. sayang mereka begitu keras kepala dan kesal sampai mereka tidak mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun menjatuhkan palu godam terhadap mereka (QS Asy-Syams [91]: 13-15).

Jadi, istilah mukjizat rasanya memiliki korelasi dengan sebuah penentangan dan perlawanan. Sedangkan hidayah sifatnya lebih membimbing dan menunjuki, bukan menaklukkan. Namun demikian, bisa saja mukjizat dan hidayah merupakan dua sisia dari satu mata uang. Bahwa kandungan petunjuk Alquran akan mudah masuk diterima oleh nalar dan hati setelah keangkuhan ego dan nalar manusia ditantang dan ditaklukkan lebih dahulu oleh ayat-ayat Alquran. Kisah dan metode semacam ini bisa ditelusuri pada sejarah Ibrahim, misalnya, ketika menghadapi kaumnya yang gemar menyembah pemimpin, menyembah patung dan planet. Oleh nabi Ibrahim logika dan argumentasi kaumnya diikuti terus, sampai pada titik tertentu mengalami kebuntuan, baru nabi Ibrahim mengoreksi dan membimbing mereka untuk berpikir lebih logis dan kritis. Bahwa yang paling pantas dan rasional untuk disembah itu bukannya patung, matahari, bulan dan makhluk lain, melainkan Sang Pencipta semua itu yang paling rasional untuk disembah dan diimani.

B.   MACAM-MACAM MUKJIZAT

Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah (rasional). Mukjizat nabi-nabi terdahulu semuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya, seperti perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi Ibrahim dalam kobaran api; tongkat nabi Musa yang berobah menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad Saw, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.

Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi Muhammad Saw, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan nabi Muhammad SAW, yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.

Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi sebelum nabi Muhammad SAW amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi Muhammad SAW. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang badar hingga menutupi pandangan mereka, dan lain-lain merupakan hal-hal luar biasa yang telah terjadi.

Namun demikian dapat disimpulkan, Pertama bahwa mukjizat itu luar biasa dalam mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan ketentuan tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama fungsinya, yaitu untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.

C.   BENTUK DAN TAHAPAN TANTANGAN AL QURAN

Tantangan yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:

1.      Tantangan umum

Tantangan ini ditujukan kepada semua golongan, baik kaum filosof, cendikiawan, ulama, dan hukama, serta semua manusia tanpa kecuali, orang Arab atau orang Ajam, orang putih atau orang hitam, mukmin atau kafir. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran surat al-Isra’ ayat 88.

2.      Tantangan khusus

Tantangan ini ditujukan khusus kepada orang-orang Arab, terutama bagi orang-orang kafir Quraisy. Tantangan bertanding khusus ini terbagi atas dua macam, yaitu :

·         Tantangan yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu tantangan dengan seluruh al-Quran mengenai hukum-hukumnya, keindahan bahasanya, balaghahnya dan kejelasannya. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Thuur ayat 34.

·         Tantangan yang bersifat juz’i (sebagian), yaitu tantangan untuk mendatangkan sepuluh surat atau satu surat saja yang menyerupai surat-surat al-Quran. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Hud ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat 23.

Adapun tahapan-tahapan tantangan al-Quran adalah sebagai berikut:

·         Pertama, Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan al-Quran”, sebagaimana dipahami dari surat al-Thuur ayat 34,

ا فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (الطور: 34)

 “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika mereka termasuk orang-orang yang benar.” (Al-Thuur : 34).

Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa ketika ayat ini turun untuk menantang orang-orang kafir Quraisy yang meragukan dan menolak kebenaran al-Quran, maka mereka berdalih “kami tidak mengetahui sejarah umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan al-Quran).

Adapun yang dimaksud dengan kalimat بحديث (bihadiitsin) dalam ayat diatas adalah tandingan al-Quran, namun ternyata mereka tidak mampu mendatangkan sesuatu yang menyamai al-Quran.

·         Kedua, Allah meringankan tantangan, yaitu menantang untuk membuat sepuluh surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana dinyatakan Allah Swt., dalam surat Hud ayat 13,

 

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (هود:13)

 

“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Hud : 13).

Kata مفتريات (muftarayaat) yang diterjemahkan dengan “dibuat-buat” dalam ayat diatas adalah tudingan orang-orang kafir Quraisy terhadap nabi Muhammad Saw., bahwa al-Quran itu dibuat-buat, oleh karenanya Allah menantang, kalaupun al-Quran itu dibuat-buat (bohong), jikalau mereka mampu menyusun redaksi seindah dan seteliti al-Quran maka itu sudah cukup untuk mengakui kebenaran dugaan mereka, tetapi tantangan kedua inipun tidak sanggup mereka layani.

·         Ketiga, Allah meringankan lagi tantangan, yaitu tantangan untuk membuat satu surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat Yunus ayat 38,

 

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (يونس: 38)

 

“Atau patutkah mereka berkata, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya?”, Katakanlah (kalau benar tuduhan kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan panggillah siapapun yang dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Yunus : 38).

Tiga tahapan tantangan tersebut semuanya disampaikan ketika nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah.

·         Keempat, Ketika nabi sudah hijrah ke Madinah Allah menantang kembali dengan tantangan yang lebih ringan lagi yaitu membuat satu surat yang hampir sama dengan al-Quran, sebagaimana dapat dipahami dalam surat al-Baqarah ayat 23,

 

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة: 23)

 

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya dan panggillah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah : 23).

Ayat 23 yang terdapat dalam surat al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan ayat 38 dalam surat Yunus. Perbedaannya antara lain pada kalimat (fa’tuu bisuuratin mitslihi dan fa’tuu bisuuratin min mitslihi). Kata من (min) disini diartikan “lebih kurang”, sehingga dengan demikian tantangan ini lebih rendah daripada tantangan sebelumnya yang menuntut membuat satu surah tanpa menggunakan kata من(min) atau “lebih kurang”.

Memang sejak semula Allah telah menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun al-Quran tetap menjadi mukjizat dan tidak dapat ditandingi. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 88,

 

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا(الإسراء: 88)

 

“Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain.” (al-Isra’ : 88).

Dengan demikian jelaslah bahwa tahap demi tahap tantangan al-Quran, ternyata tidak seorangpun sanggup untuk memenuhi tantangan tersebut, terutama orang-orang Arab kafir Quraisy yang dengan terang-tarangan tidak menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian jelaslah mukjizat al-Quran yang benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad Saw., yang ummi.

D.   ASPEK-ASPEK KEMUKJIZATAN AL QURAN

Para ulama sepakat bahwasanya al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan sepadan al-Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.[19] Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau segi kemukjizatan al-Quran. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:

a.       Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah sesuatu yang terkandung dalam al-Quran itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku kalimatnya.

b.      Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu terkandung dalam lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah, karena nilai sastra yang terkandung dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.

c.       Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar dari adanya pertentangan, dan mengandung arti yang lembut dan memuat hal-hal ghaib diluar kemampuan manusia dan diluar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya.

d.      Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah keistimewaan-keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang terkandung dalam al-Quran, baik dalam permulaan, tujuan maupun dalam menutup setiap surat.

Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh segi kemukjizatan al-Quran, sementara al-Zarkani dalam kitabnya Manahilul Irfan mencatat empat belas segi kemukjizatan al-Quran.

Perbedaan pendapat ulama diatas diketahui sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Jadi bukan berbeda dalam menentukan batasan-batasan kemukjizatan al-Quran, karena aspek-aspek kemukjizatan al-Quran tidak hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu yang mereka sebutkan. Adapun aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah:

v  Susunan bahasanya yang indah, berbeda dengan susunan bahasa Arab.

v  Uslubnya (susunannya) yang menakjubkan, jauh berbeda dengan segala bentuk susunan bahasa Arab.

v  Keagungan yang tidak mungkin bagi makhluk untuk mendatangkan sesamanya.

v  Syariat yang sangat rinci dan sempurna melebihi setiap undang-undang buatan manusia.

v  Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.

v  Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.

v  Al-Quran memenuhi setiap janji dan ancaman yang dikabarkannya.

v  Luasnya ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya.

v  Kesanggupannya dalam memenuhi segala kebutuhan manusia.

v  Berpengaruh terhadap hati para pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya.

Uraian singkat tentang aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah sebagai berikut:

1.      Susunan bahasanya yang indah.

Susunan gaya bahasa dalam al-Quran tidak bisa disamakan oleh apapun, karena al-Quran bukan susunan syair dan bukan pula susunan prosa, namun ketika al-Quran dibaca maka ketika itu terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Cendikiawaan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran, menulis: “Al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”.

            Struktur yang indah, menakjubkan dan luar biasa dalam aspek balghah.Sangat indah menjelaskan bahwa manusia tidak menandinginya.Para ulama menyatakan bahwa kemukjizatan al-Qur’an terletak pada sejumlah kelebihan tersebut.Berikut ini, akan kami jelaskan beberapa perincian atas penjelasan global yang mereka sampaikan itu.

2.      Uslubnya yang menakjubkan.

Al-Quran muncul dengan uslub yang sangat baik dan indah, mengagumkan orang-orang Arab karena keserasian dan keindahannya, keharmonisan susunannya. Didalamnya terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akn terdapat dalam ucapan manusia.

3.      Keagungannya.

Al-Quran mempunyai kemegahan ucapan yang luar biasa yang berada diluar kemampuan manusia untuk menguasainya atau mendatangkan persamaannya. Kandungan al-Quran dapat mempengaruhi jiwa-jiwa pendengarnya dan dapat melembutkan hati-hati yang keras.

4.      Syariat yang sangat rinci dan sempurna.

Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akidah, hokum-hukum ibadah, norma-norma keutamaan dan sopan santun, undang-undang hukum ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan. Al-Quran juga mengatur kehidupan keluarga, menjunjung nilai-nilai kebebasan, keadilan (demokrasi) dan musyawarah.

5.      Berita tentang hal-hal yang gaib.

Al-Quran mengungkap sekian banyak ragam hal gaib. Al-Quran mengungkap kejadian masa lampau yang tidak diketahui lagi oleh manusia, karena masanya telah demikian lama, dan mengungkap juga peristiwa masa datang atau masa kini yang belum diketahui manusia.

6.      Sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.

Al-Quran memuat petunjuk yang detail mengenai sebagian ilmu pengetahuan umum yang telah ditemukan terlebih dahulu dalam al-Quran sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern. Tiori al-Quran itu sama sekali tidak bertentangan dengan tiori-tiori ilmu pengetahuan modern, baik itu ilmu alam, arsitek dan fisika, geografi dan kedokteran.

7.      Menepati janji.

Al-Quran senantiasa menepati janji dalam setiap apa yang telah dikabarkannya serta dalam setiap janji Allah kepada hamba-Nya, baik janji mutlak seperti janji Allah untuk menolong rasul-Nya, maupun janji terbatas yaitu janji yang bersyarat seperti harus memenuhi syarat takwa, sabar, menolong agama Allah, dan sebagainya.

8.      Terkandung ilmu pengetahuan yang luas.

Al-Quran datang dengan membawa berbagai ilmu pengetahuan tentang akidah, hokum (undang-undang), etika, muamalat, dan berbagai lapangan lain dalam pendidikan dan pengajaran, politik dan ekonomi, filsafat dan sosial.

9.      Memenuhi segala kebutuhan manusia.

Al-Quran datang dengan membawa petunjuk-petunjuk yang sempurna, fleksibel lagi luwes, dan dapat memenuhi segala kebutuhan manusia pada setiap tempat dan masa.

10.  Berkesan dalam hati.

Al-Quran dapat menggetarkan hati pengikut dan penantangnya. Seseorang yang sangat memusuhi al-Quran bisa berbalik dibawah lindungannya. Umar bin Khattab, Sa’ad bin Mu’az, dan Usaid bin Hudhair misalnya, mereka adalah orang-orang yang paling kejam terhadap kaum muslimin tetapi disebabkan mendengarkan beberapa ayat al-Quran maka hatinya luluh dan masuk islam.

Filosof Perancis mengatakan “Sesungguhnya Muhammad Saw., membaca al-Quran dengan khusyuk, sopan dan rendah hati, untuk menarik hati manusia agar beriman kepada Allah, dan hal ini melebihi pengaruh yang ditimbulkan semua mukjizat nabi-nabi terdahulu.

 

E.    TUJUAN DAN FUNGSI MUKJIZAT

Mukjizat berfungsi sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan tuhan : “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah aku melakukan mukjizat itu.”

Mukjizat,walaupun dari segi bahasa berarti melemahkan tetapi dari segi agama , ia sama sekali tidak dimaksudkan untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang ditantang. Mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran ilahi yang dibawa oleh masing-masing nabi. Jika demikian hal nya, ini paling tidak mengandung dua konsekuensi.

Pertama, bagi yang telah percaya kepada nabi, maka dia tidak lagi membutuhkan mukjizat. Dia tidak lagi ditantang untuk melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat atau dialaminya hanya berfungsi memperkuat keimanan serta menambah keyakinannya akan kekuasaan Allah SWT.

Kedua, para nabi sejak nabi Adam a.s. hingga isa a.s. diutus untuk suatu kurun tertentu serta masyarakat tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat  pasti tidak dapat dilakukan umatnya sehingga mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran Ilahi yang dibawa oleh masing-masing nabi.

F.    PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN ULAMA

Para ulama telah berbeda pendapat ketika menjelaskan aspek-aspek kemukjizatan Alquran. Perbedaan pendapat itu dapat dilihat pada uraian berikut:

1.      Menurut Golongan Sharfah

Sampai menjelang abad III H., terma i’jaz masih dipahami oleh para ulama sebagai keunikan Alquran yang tidak dapat ditiru oleh siapapun. Namun, berkat pengaruh Al-Jahiz, seorang tokoh Mu’tazilah, terma itu belakangan lebih dispesifikkan pada gaya retorika Alquran. Pada perkembangan selanjutnya, seorang tokoh Mu’tazilah lainnya, yakni Abu Ishaq Al-Nazhzham (w. 231 H.). dan tokoh Syi’ah, yakni Al-Murtadha, berpendapat bahwa kemukjizatan Alquran itu disebabkan adanya shafah (pemalingan), yakni Allah –sebagaimana didefinisikan An-Nazhzham—telah memalingkan manusia untuk menantang Alquran dengan cara menciptakan kelemahan padanya sehingga tidak dapat mendatangkan suatu yang sama dengan Alquran. Seandainya Allah tidak memalingkan manusia, menurut AN-Nizhzham, pasti manusia mampu menandingi Alquran. Sementara itu, Al-Murtadha menjelaskannya bahwa Allah telah mencabut ilmu yang dibutuhkan dalam bertanding.

Padangan seperti ini mendapat dukungan pula dari tokoh Mu’tazilah lainnya seperti Hisaya Al-Fawaitu (w. 218 H.), ‘Abbad bin Sulaiman (w. Abad ke 3 H.), Abu Hasan ‘Ali bin ‘Isa Ar-Rumani. Dan Ibn Hazm Al-Andulusi (dari golongan Azh-Zhahiri). Ibn Hzm lebih jauh berpendapat bahwa ketika berfirman, Allah memberi daya yang melemahkan manusia untuk menandingi Alquran. Sementara itu, ‘Ali bin Isa Ar-Rmani melihat lebih jauh lagi, takni bahwa Allah telah mengalihkan perhatian umat manusia sehingga mereka tidak mempunyai keinginan menyusun suatu karya untuk menandingi Alquran. Membuat orang tidak tertarik melakukan rivalitas terhadap kitab suci ini merupakan sesuatu yang luar biasa.

Pendapat tokoh-tokoh besar Mu’tazilah itu tidak terlepas dari penghargaan mereka terhadap kemampuan akal manusia. Akan tetapi, pendapat diatas kemudian dikritik keras oleh para ulama di luar Mu’tazilah, dan juga dari sebagian ulama Mu’tazilah sendiri yang melihat kemukjizatan Alquran dari sudut informasi-informasi ajarannya, ilustrasi, dan kebahasaannya.

Para ulama yang membantah paham sharfah menjelaskan bahwa paham ini telah menuduh Tuhan menantang seseorang yang berbicara, tetapi lidah orang itu terlebih dahulu dipotong (dilemahkan) oleh-Nya. Padahal, jika dirunut dari latar belakang teks-teks tentang tahaddi (tantangan ) Alquran, jelaslah bahwa kaum kafir Quraisy pada saat itu merasa mampu mendatangkan kitab serupa Alquran meskipun nyatanya tidak berdaya atau tidak berhasil. Pandangan sharfah ini, menurut mereka, mengimplikasikan pandangan bahwa sebenarnya kemukjizatan Alquran bukan karena esensi (dzat)-nya, tetapi karena ada faktor lain. Yakni pemalingan potensi manusia oleh Tuhan. Dengan kata lain, paham ini menjelaskan bahwa Alquran bukan mu’jizat dztini, tetapi mu’jizat ghairihi.

Secara rinci, Ar-Zarkasyi mengemukakan kelemahan argumen An-Nazhzham dan Ar-Rumani diatas, sebagai berikut.

·         Firman Allah pada surat Al-Isra’ (17) ayat 88 memperlihatkan kelemahan bangsa Arab menyusun karya besar yang sejajar dengan Alquran. Kalau Allah melarang mereka, maka yang mu’jiz (melemahkan) itu bukan Alquran, tetapi justru Allah sendiri. Padahal, ayat itu menantang mereka menyusun karya yang sejajar dengan Alquran, bukan untuk menandingi kebesaran tuhan.

·         Masyarakat Arab pada saat itu mungkin saja mampu membuat karya spesifik yang pembahasannya sama dengan Al-Qur’am, tetapi mereka akan sangat mengalami kesukaran menandingi isi dan ilustrasinya.

·         Alquran mengemukakan hal-hal ghaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang dalam kehidupan dunia ini, disamping berita-berita alam akhirat yang akan dialami umat manusia kelak. Segala yang dikemukakan Alquran tersebut kemudian terbukti dalam perjalanan hidup manusia ini. Misalnya, Allah memberitakan dalam surat An-Nur [24] ayat 55 bahwa umat Islam akan menjadi adikuasa didunia ini. Dan hal itu benar-benar telah terjadi ketika Dinasti ‘Abbasiyah berada pada masa kejayaannya dan ketika muncuk tiga kerajaan besar, yaitu Mughal di India, Safawi di Persia, dan Turki Utsmani di Turki antara abad 15-17 M. Alquran juga memberitakan pada surat Ar-Rum [30] ayat 1-2 bahwa kerajaan Romawi timur akan hancur. Ini terbukti pada abad 14 M., pasca ‘Abbasiyyah, pada masa kekuasaan Turki Utsmani.

·         Alquran juga mengemukakan kisah-kisah lama yang tidak terangkat dalam cerita-cerita rakyat Arab, seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Musa dan Harun, serta kisah-kisan nabi lain dan perlawanan masyarakatnya terhadap dakwah mereka, dan akibat-akibat perlawanan tersebut.

Beberapa karakter inilah yang memperkuat alasan bahwa kemukjizatan  Alquran bukan terletak pada kekuasaan Allah, tetapi karena justru Alquran sendiri yang mempunyai kekuatan sedemikian rupa, sehingga masyarakat Arab tidak mampu menciptakan karya yang setara. Oleh sebab itu, pernyataan orang-orang Mu’tazilah yang menyetarakan Alquran dengan buku Ad-Durar dan At-Talamiyah karya Ibn Al-Muqaffa’ adalah sangat keliru dan sesat. Kedua karya tersebut menurut Al-Baqilani amat jauh dibandinkan dengan Alquran dari segi ini, ilustrasi, dan pembahasan.

2.      Menurut Imam Fakhruddin

Aspek kemukjizatan Alquran terletak pada kefasihan, keunikan redaksi, dan kesempurnaannya dari segala bentuk cacat. Sementara itu, menurut Az-Zamlakani, aspek kemukjizatannya terletak pada penyusunan yag spesifik.

3.      Menurut Ibn ‘Athiyyah

Yang benar dan yang dianut oleh mayoritas ulama—di antaranya Al-Haddaq—aspek kemukjizatan Alquran itu terletak pada runtutannya, makna-maknanya yang dalam, dan kata-katanya yang fasih. Hal tersebut tidak perlu diherankan karena Alquran merupakan firman Allah, Zat Yang Maha Mengetahui. Alquran sungguh diliputi oleh pengetahuan-Nya. Bila urutan-urutan ayatnya dicermati, tampaklah keserasian antara satu ayat dengan ayat yang mengiringinya. Serasi pula antara makna satu ayat dengan ayat yang mengiringinya. Serasi pula antara makna satu ayat dengan ayat yang mengiringinya. Begitulah yang terjadi pada Alquran mulai pembuka sampai penutupnya. Mengingat manusia diliputi oleh kebodohan dan kealpaan, tidak ada seorang pun dapat melakukan hal yang sama dengan Alquran.


BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN

Dari uraian diatas tentang mukjizat al-Quran dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:

  • Al-Quran adalah mukjizat nabi Muhammad Saw., terbesar yang sifatnya ‘aqliyah sehingga berlaku sepanjang zaman karena dapat dijangkau oleh perkembangan akal manusia.
  • Kemukjizatan al-Quran terletak pada aspek keindahan bahasanya, kabar berita yang dibawanya, keluasan isi materi yang terkandung didalamnya ma

DAFTAR PUSTAKA

Quraish,M.Shihab. 1992. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung : Mizan.